Empat Langkah Mencapai Kecerdasan Finansial
Orang-orang sukses biasanya memiliki
kecerdasan finansial yang bagus. Mereka mampu mengelola uang sehingga
aset terus bertambah, dan bahkan ada yang sampai pada tahap merdeka
secara finansial. Apa maksudnya?
Kalangan seperti ini sudah tidak perlu lagi mengeluarkan tenaga dan pikiran untuk mencari uang, tetapi uangnya sudah bekerja untuk ”tuannya”, yakni kalangan yang sudah merdeka tersebut. Pertanyaannya, apakah Anda sudah merdeka secara finansial?
Menghasilkan secara produktif
Kecerdasan finansial secara ”best practice” paling tidak meliputi berbagai aspek.
Pertama, bagaimana menghasilkan uang dengan cara yang produktif. Apa maksudnya? Kita semua yang bekerja pasti menghasilkan uang. Namun masalahnya, apakah cara kita memperoleh uang sudah produktif? Dalam arti sudah setara antara waktu, pikiran, dan tenaga yang tercurah dengan uang yang dihasilkan? Belum tentu.
Coba dengar keluhan di sekitar kita. Sebagian karyawan selalu berpikir untuk mendapatkan kenaikan gaji terus-menerus. Akibat memikirkan kenaikan gaji terus-menerus, kerja menjadi tidak konsentrasi. Atau lebih jauh lagi, output yang diberikan ke perusahaan menurun. Pada gilirannya kinerja perusahaan bisa menurun yang mungkin berdampak pada ketidakmampuan perusahaan untuk membayar gaji dengan baik.
Orang-orang yang cerdas secara finansial, harusnya memahami bahwa sumber pendapatannya diperoleh dari gaji dan bonus, jika yang bersangkutan seorang karyawan/wati. Maka untuk bisa mendapatkan gaji atau penghasilan secara lebih, mau tidak mau harus memberikan output yang lebih besar ke perusahaan sehingga kinerja perusahaan juga meningkat.
Dengan kata lain, agar bisa mendapatkan uang yang setara dengan waktu, tenaga, dan pikiran yang diberikan, lakukan kegiatan kerja secara efektif, yang memberi pengaruh terhadap peningkatan kinerja perusahaan. Itu berarti bekerja dengan kualitas tinggi, bukan sekadar banyaknya jam kerja atau kuantitas tinggi.
Melindungi uang
Kedua, bagaimana melindungi uang yang sudah diperoleh. Ada istilah ”easy come, easy go”. Uang yang diperoleh dengan mudah, akan mudah pula habisnya. Tetapi, lebih parah lagi, ada kalangan yang sudah susah payah untuk mendapatkan uang, namun di sisi lain sangat mudah menghabiskan atau membelanjakannya. Malah kemudian menjadi ”lebih besar pasak, daripada tiang”.
Lantas bagaimana melindungi uang yang sudah diperoleh, terlepas apakah diperoleh secara mudah atau sulit. Tidak banyak rumusan untuk melindungi uang, karena kata kuncinya ada pada perilaku si pemilik uang. Jika seseorang mampu mengontrol pengelolaan uangnya, maka otomatis uang itu sudah terlindungi. Itu prinsip dasarnya.
Tetapi, secara kecerdasan tentu saja ada juga cara-cara jitu untuk melindungi uang, dalam hal ini pengertiannya adalah melindungi nilai uang. Jika Anda saat ini memiliki uang Rp 100 juta, di mana uang segitu bisa Anda belikan sebidang tanah misalnya. Maka jika uang itu tetap Anda pegang dalam bentuk tunai, maka belum tentu di tahun depan Anda bisa membeli sebidang tanah yang saat ini harganya setara Rp 100 juta. Dengan kata lain, nilai uang Anda mengalami penurunan. Dus, untuk melindunginya dari penurunan nilai, maka uang itu mesti ditukarkan dengan benda lain yang malah nilainya bisa mengalami kenaikan.
Seperti contoh di atas, jika Anda membeli sebidang tanah seluas 100 meter dengan nilai Rp 100 juta, maka di tahun depan, ketika Anda butuh tunai, maka tanah tersebut bisa Anda jual kembali dan harganya bisa dipastikan lebih tinggi dari Rp 100 juta. Sebut saja, misalnya Rp 110 juta. Itu berarti nilai uang Rp 100 juta saat ini setara dengan Rp 110 juta di tahun depan. Simpulannya, hati-hati menyimpan uang secara tunai, karena nilainya akan berbeda setiap tahunnya. Atau dengan kata lain, Anda mesti melakukan lindung nilai terhadap uang yang telah Anda miliki.
Mengelola anggaran
Apakah setelah mampu memberi perlindungan terhadap nilai uang atau uang yang Anda peroleh, maka persoalan selesai? Jelas belum. Cek lagi apakah kegiatan keuangan Anda sudah mampu memenuhi kaidah yang ketiga, yakni, mengelola anggaran keuangan secara efektif. Apa maksudnya? Berapa banyak penghasilan Anda yang habis untuk membiayai perilaku konsumtif, misalnya. Lalu berapa besar dari penghasilan Anda yang bisa ditabung. Atau apakah pembiayaan konsumtif Anda berdasarkan perencanaan atau habis begitu saja, mengikuti naluri.
Untuk bisa digolongkan sebagai kalangan yang memiliki kecerdasan finansial, maka setiap sen uang yang dibelanjakan mestinya berdasarkan suatu kebutuhan, dan sudah dianggarkan sebelumnya. Semuanya terencana, lalu dieksekusi dan kemudian bisa dievaluasi di mana penyimpangannya. Berapa besar penyimpangan tersebut dan selanjutnya mau memperbaiki perilaku keuangan yang dijalani. Jika Anda mampu mengelola keuangan Anda seperti itu, maka peluang Anda menuju merdeka secara finansial bukanlah hal mengada-ada.
Keempat, bagaimana mendayagunakan uang sehingga bisa menghasilkan uang. Kalau Anda sudah mampu berinvestasi dan kemudian hasil investasi itu sudah mampu membiayai kebutuhan rutin Anda, di mana investasi Anda bisa diperoleh secara berkelanjutan, maka Anda sudah masuk dalam kategori cerdas finansial dan tinggal selangkah lagi menuju merdeka secara finansial.
Lantas bagaimana wujud konkretnya? Sederhana saja. Hitung berapa biaya kebutuhan rutin Anda, lalu hitung berapa aset Anda. Setelah itu, alokasikan aset Anda ke dalam bentuk aset produktif yang bisa memberikan penghasilan. Dalam hal ini, Anda tidak perlu mencari keuntungan setinggi-tingginya, tetapi hasil yang langgeng. Dengan cara itu, berarti uang Anda sudah bekerja untuk Anda. Dan Anda akan tergolong dalam kalangan yang disebut sebagai merdeka finansial. Itulah makna kecerdasan finansial
(Elvyn G Masassya, praktisi keuangan) Sumber: Kompas Cetak
Follow @focusglobalTK
Kompas.com |
Kalangan seperti ini sudah tidak perlu lagi mengeluarkan tenaga dan pikiran untuk mencari uang, tetapi uangnya sudah bekerja untuk ”tuannya”, yakni kalangan yang sudah merdeka tersebut. Pertanyaannya, apakah Anda sudah merdeka secara finansial?
Menghasilkan secara produktif
Kecerdasan finansial secara ”best practice” paling tidak meliputi berbagai aspek.
Pertama, bagaimana menghasilkan uang dengan cara yang produktif. Apa maksudnya? Kita semua yang bekerja pasti menghasilkan uang. Namun masalahnya, apakah cara kita memperoleh uang sudah produktif? Dalam arti sudah setara antara waktu, pikiran, dan tenaga yang tercurah dengan uang yang dihasilkan? Belum tentu.
Coba dengar keluhan di sekitar kita. Sebagian karyawan selalu berpikir untuk mendapatkan kenaikan gaji terus-menerus. Akibat memikirkan kenaikan gaji terus-menerus, kerja menjadi tidak konsentrasi. Atau lebih jauh lagi, output yang diberikan ke perusahaan menurun. Pada gilirannya kinerja perusahaan bisa menurun yang mungkin berdampak pada ketidakmampuan perusahaan untuk membayar gaji dengan baik.
Orang-orang yang cerdas secara finansial, harusnya memahami bahwa sumber pendapatannya diperoleh dari gaji dan bonus, jika yang bersangkutan seorang karyawan/wati. Maka untuk bisa mendapatkan gaji atau penghasilan secara lebih, mau tidak mau harus memberikan output yang lebih besar ke perusahaan sehingga kinerja perusahaan juga meningkat.
Dengan kata lain, agar bisa mendapatkan uang yang setara dengan waktu, tenaga, dan pikiran yang diberikan, lakukan kegiatan kerja secara efektif, yang memberi pengaruh terhadap peningkatan kinerja perusahaan. Itu berarti bekerja dengan kualitas tinggi, bukan sekadar banyaknya jam kerja atau kuantitas tinggi.
Melindungi uang
Kedua, bagaimana melindungi uang yang sudah diperoleh. Ada istilah ”easy come, easy go”. Uang yang diperoleh dengan mudah, akan mudah pula habisnya. Tetapi, lebih parah lagi, ada kalangan yang sudah susah payah untuk mendapatkan uang, namun di sisi lain sangat mudah menghabiskan atau membelanjakannya. Malah kemudian menjadi ”lebih besar pasak, daripada tiang”.
Lantas bagaimana melindungi uang yang sudah diperoleh, terlepas apakah diperoleh secara mudah atau sulit. Tidak banyak rumusan untuk melindungi uang, karena kata kuncinya ada pada perilaku si pemilik uang. Jika seseorang mampu mengontrol pengelolaan uangnya, maka otomatis uang itu sudah terlindungi. Itu prinsip dasarnya.
Tetapi, secara kecerdasan tentu saja ada juga cara-cara jitu untuk melindungi uang, dalam hal ini pengertiannya adalah melindungi nilai uang. Jika Anda saat ini memiliki uang Rp 100 juta, di mana uang segitu bisa Anda belikan sebidang tanah misalnya. Maka jika uang itu tetap Anda pegang dalam bentuk tunai, maka belum tentu di tahun depan Anda bisa membeli sebidang tanah yang saat ini harganya setara Rp 100 juta. Dengan kata lain, nilai uang Anda mengalami penurunan. Dus, untuk melindunginya dari penurunan nilai, maka uang itu mesti ditukarkan dengan benda lain yang malah nilainya bisa mengalami kenaikan.
Seperti contoh di atas, jika Anda membeli sebidang tanah seluas 100 meter dengan nilai Rp 100 juta, maka di tahun depan, ketika Anda butuh tunai, maka tanah tersebut bisa Anda jual kembali dan harganya bisa dipastikan lebih tinggi dari Rp 100 juta. Sebut saja, misalnya Rp 110 juta. Itu berarti nilai uang Rp 100 juta saat ini setara dengan Rp 110 juta di tahun depan. Simpulannya, hati-hati menyimpan uang secara tunai, karena nilainya akan berbeda setiap tahunnya. Atau dengan kata lain, Anda mesti melakukan lindung nilai terhadap uang yang telah Anda miliki.
Mengelola anggaran
Apakah setelah mampu memberi perlindungan terhadap nilai uang atau uang yang Anda peroleh, maka persoalan selesai? Jelas belum. Cek lagi apakah kegiatan keuangan Anda sudah mampu memenuhi kaidah yang ketiga, yakni, mengelola anggaran keuangan secara efektif. Apa maksudnya? Berapa banyak penghasilan Anda yang habis untuk membiayai perilaku konsumtif, misalnya. Lalu berapa besar dari penghasilan Anda yang bisa ditabung. Atau apakah pembiayaan konsumtif Anda berdasarkan perencanaan atau habis begitu saja, mengikuti naluri.
Untuk bisa digolongkan sebagai kalangan yang memiliki kecerdasan finansial, maka setiap sen uang yang dibelanjakan mestinya berdasarkan suatu kebutuhan, dan sudah dianggarkan sebelumnya. Semuanya terencana, lalu dieksekusi dan kemudian bisa dievaluasi di mana penyimpangannya. Berapa besar penyimpangan tersebut dan selanjutnya mau memperbaiki perilaku keuangan yang dijalani. Jika Anda mampu mengelola keuangan Anda seperti itu, maka peluang Anda menuju merdeka secara finansial bukanlah hal mengada-ada.
Keempat, bagaimana mendayagunakan uang sehingga bisa menghasilkan uang. Kalau Anda sudah mampu berinvestasi dan kemudian hasil investasi itu sudah mampu membiayai kebutuhan rutin Anda, di mana investasi Anda bisa diperoleh secara berkelanjutan, maka Anda sudah masuk dalam kategori cerdas finansial dan tinggal selangkah lagi menuju merdeka secara finansial.
Lantas bagaimana wujud konkretnya? Sederhana saja. Hitung berapa biaya kebutuhan rutin Anda, lalu hitung berapa aset Anda. Setelah itu, alokasikan aset Anda ke dalam bentuk aset produktif yang bisa memberikan penghasilan. Dalam hal ini, Anda tidak perlu mencari keuntungan setinggi-tingginya, tetapi hasil yang langgeng. Dengan cara itu, berarti uang Anda sudah bekerja untuk Anda. Dan Anda akan tergolong dalam kalangan yang disebut sebagai merdeka finansial. Itulah makna kecerdasan finansial
(Elvyn G Masassya, praktisi keuangan) Sumber: Kompas Cetak
0 Leave Your Comment :
Post a Comment
Thanks you for your visit please leave your Comment