Cinta Semerah Mawar I Cerpen Indah 2011
Cerpen ini aku buat dalam rangka ulang tahun DIMPA - Divisi Mahasiswa Pecinta Alam UMM ke-28. Cerita ini hanya fiktif, dan berlatar belakang tentang kehidupan anggota pecinta alam yang seringkali dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitarnya, bahkan oleh orang terdekatnya. VIVA DIMPA.
Irfan membaca status facebook yang bermunculan di layar komputernya. Matanya berhenti pada sosok dalam sebuah foto profile.
Cewek manis dengan jilbab bermotif dan berumbai di sana sini. Wajahnya memang tidak berubah. Tetap cantik dan ceria. Hanya bedanya sekarang nampak lebih dewasa. Dan pakai jilbab. Kalau dulu boro-boro.Namanya juga anak pecinta alam? Penampilannya ala kadarnya. Kaos plus jaket , atau kemeja lengan panjang berbahan flanel dan jins belel yang kadang-kadang terlihat bolong di dengkul atau di paha. Rambutnya yang melewati bahupun dibiarkan tergerai bebas tak beraturan, atau asal diikat semaunya. Dia sedikitpun tidak memikirkan penampilan. Tidak seperti teman-teman cewek yang lain yang dengan heboh berdandan ketika datang ke kampus.
Hubungan mereka waktu itu sangat dekat, meski tidak sampai tahap pacaran. Hampir memasuki gerbang pacaran, namun karena sesuatu hal, perasaan yang penuh bunga itu bagai tak ada lagi wanginya dan kehilangan warna cerahnya. Entah apa yang mereka perdebatkan waktu itu. Skripsi adalah satu alasan tepat untuk menciptakan jarak di hati yang mulai merasakan kehambaran dan keasingan satu dengan yang lain. Dan setelah itu keduanya mencuat, melejit, dan mencapi garis takdir masing-masing. Irfan sempat mencarinya ketika wisuda. Tapi ia tidak menemukannya. Dalam buku daftar peserta wisuda ada tertulis nama Heidi Kusumawardani. Tapi di mana dia? Kemudian dari salah seorang teman, Irfan mendapatkan informasi tentang keberadaan Heidi. Dia sedang naik gunung!
Menggelegak hati Irfan oleh kemarahan. Benar-benar sakit jiwa. Geramnya sembari mengepal-ngepalkan tinjunya dengan keras. Entah siapa yang akan menjadi sasaran tonjokannya. Wisuda adalah hari yang bersejarah bagi semua mahasiswa. Tapi Heidi? Tidakkah dia itu ingin membahagiakan orang tuanya yang sudah susah payah membiayainya kuliah? Meski hanya sekedar foto bersama dengan mengenakan toga, sebagai bukti atau pun kenang-kenangan bahwa ia pernah mengenyam pendidikan di sebuah universitas. Lalu apa yang dilakukannya di puncak gunung? Apa ia membawa toganya ke puncak gunung, dan berfoto bersama teman-teman gebleknya?!
Heidi tidak pernah ingin jadi guru seperti keinginan orang tuanya. Jadi menurutnya kalau ia kuliah itu bukan untuk dirinya, tapi untuk orang tuanya. Tidak masalah ia akan mbolos kuliah sampai berhari-hari hanya untuk urusan naik gunung. “Yang penting IP-ku bagus!” sahutnya cuek menanggapi teguran Irfan setiap kali melihatnya menenteng tas ransel berisi perlengkapan naik gunung.
Tujuh tahun berlalu. Dalam usianya yang sekarang adalah titik akhir ia harus mengakhiri masa lajangnya. Itu prinsipnya sejak dulu kala. Tapi dengan siapa ia akan menikah? Sekali lagi ia menatap foto profile di dalam layar monitornya. Hanya Heidi yang sejak dulu ia impi-impikan untuk menjadi pendamping hidupnya. Tapi ke mana dia? Tidak ada info jelas di kota mana keberadaannya saat ini. Hanya email. Apa ia masih di rumahnya yang dulu? Dia masih berada di kota ini?
Kepalanya tergeleng pelan membantah tanya dalam hatinya. Mustahil ia betah tinggal di kota kelahirannya selama berpuluh tahun. Yang ada juga dia pasti sudah keliling ke berbagai pulau atau bahkan sudah terbang ke negara lain. Bukankah itu cita-citanya? Ia ingin pergi ke suatu tempat yang jauh dari tempat tinggalnya. Dan nggak bakal kembali lagi. Irfan ingat Heidi mengatakan hal itu karena marah dengan bapaknya. Karena bapaknya selalu mengatur-ngatur dan memaksakan sesuatu untuk kehidupan dan masa depannya. Termasuk ketika ia harus kuliah di IKIP dan jadi guru.
Dengan keberanian yang tidak utuh sama sekali ia pergi membawa mobilnya menuju rumah Heidi. Seribu satu harapan memenuhi hatinya. Dan seribu satu pikiran buruk menguasai pikirannya pula. Namun rasa cemas, gelisah dan kalut itu tergerus oleh rasa penasaran disamping rindu yang meletup lemah di dasar hatinya. Apakah Heidi masih tinggal di rumah orang tuanya? Filingnya ia ada di sana. Namun apa ia masih mengingatnya? Tentu. Mustahil ia lupa lelaki bernama Irfan. Lalu, apa dia sudah menikah? Oh, ia tak yakin dengan jawaban hatinya. Mungkin dia sudah menikah. tapi demi Tuhan, Irfan sungguh berharap mendapat sebuah keajaiban bisa menemui Heidi saat ini dalam keadaan masih perawan suci.
“Oh, teman kuliahnya yang dulu itu, ya? Iya, Heidi masih tinggal di sini. Tapi dia sedang menjemput anak-anaknya yang sekolah TK di jalan sebelum arah ke pasar. Tahu,kan? Nggak jauh, kok dari sini.” Irfan sempat termangu mendengar ucapan ibunya yang kelihatan masih awet muda itu. Masih tinggal di sini. Tapi sedang menjemput anak-anaknya. Oh, Tuhan yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, desahnya serasa ingin bersandar atas rasa putus asa yang tengah melandanya. jadi Heidi sudah menikah dan punya anak-anak? berapa anaknya? Ibunya bilang anak-anak. berarti anaknya dua, tiga atau empat. Tapi demi rasa penasaran ia tetap akan menemuinya. Ia berpamitan lalu meninggalkan rumah penuh tanaman hijau itu.
Di depan sebuah sekolah TK, nampak sosok langsing itu dengan mengenakan setelan blazer dan celana panjang serta berkerudung warna yang senada. Tidak seperti ibu-ibu lainnya yang bergerombol mengerumpi. Heidi nampak menyendiri dan sibuk dengan blackberry di tangannya. Irfan turun dari mobilnya dan perlahan melangkah ke arahnya.
“Heidi,” panggilnya dengan suara bergetar oleh kerinduan yang menggumpal-gumpal bagaikan awan putih yang bergerombol di langit. Kalau saja Heidi belum menikah mungkin ia akan memeluknya. Tapi ia tak mungkin melakukan hal sengawur itu. Bahkan untuk sekedar menyalaminya saja ia tak punya keinginan. Dilihatnya perempuan itu terpana hingga beberapa saat oleh kehadirannya. Dan keterkejutan itu akhirnya ditutupnya dengan ulasan senyuman yang manis namun berwibawa.
“Irfan,” gumamnya perlahan sambil tak putus menatap lelaki di hadapannya. Ia juga tak menyentuh atau mengguncang lengannya seperti dulu. Apa karena statusnya yang sudah menikah atau karena mengira Irfan juga sudah menikah pula? Entahlah.
“Aku tadi ke rumahmu. Kata ibumu kamu menjemput anak-anakmu di sekolah ini. Jadi aku ke sini.,” ucapnya setelah sekilas berbasa basi menanyakan kabar. Irfan menyadari jauhnya perbedaan penampilan Heidi dengan ibu-ibu penjemput lainnya. Nggak mungkin sehari-harinya Heidi mengenakan pakaian seformil itu hanya untuk menjemput anak sekolah. kecuali dia…”Kamu kerja? Kerja di mana?”
“Aku mengajar,” jawabnya sambil tersenyum sementara matanya menatap Irfan, seolah menunggu reaksi keras yang bakal ditunjukkannya. “Aku jadi dosen di universitas swasta. Iya, aku dulu memang menolak jadi guru, tapi kenyataannya aku malah jadi dosen. Nggak tahu, mungkin sudah takdir aku harus mengikuti jejak profesi bapakku. Dan agaknya aku nggak bisa keluar dari jalur takdirku itu,” tawanya renyah tersembur. “Aku juga ingin pergi dari tempat ini. Aku sempat ke Australi, tapi hanya beberapa tahun untuk menyelesaikan S2-ku. Setelah itu aku mau nggak mau kembali ke sini.”
“Kamu sudah S2? Di Australi lagi!” seru Irfan takjub. Kepalanya menggeleng-geleng heran bercampur kagum.
Heidi mengibaskan tangannya ke udara. “Alhamdulillah, aku dapat beasiswa dari tempatku mengajar. Kalau dengan biaya sendiri mana mampu?”
“Suamimu anak pecinta alam yang sering mengajakmu naik gunung dulu itu?” tanya Irfan menekan nada getir sekaligus ketus dalam kalimatnya. Ia menatap wajah cantik itu dengan tajam hingga seolah menembus ke jantungnya untuk mendengar jawabannya.
“Gila, anak pecinta alam siapa? Aku belum menikah.”
“Kamu belum menikah? Lalu anak-anakmu?”
Heidi menghela nafas. “Aku mengadopsi anak itu dari bayi. Dua bocah kembar itu ditinggal begitu saja oleh ibunya selesai dia melahirkan di sebuah klinik bersalin milik teman ibuku. Begitu melihatnya aku langsung jatuh cinta. Lalu kubawa mereka ke rumah. Aku merawatnya bersama ibuku selama empat tahun ini.” Heidi lalu menatapnya pula dengan lebih seksama.”Kamu sendiri?”
“Yach, beginilah keadaanku. Tidak ada cewek yang mau menikah dengan lelaki seperti aku ini.”
“Kasihan banget kamu? Jadi cewek-cewek Senat yang kamu bangga-banggakan dulu itu sudah mencampakkanmu?” ejeknya tanpa ampun.
“Bukan begitu. Aku hanya ingin menikah denganmu. Aku bersyukur kamu masih mau menungguku.”
“Jangan ge-er!” sergahnya seketika.
“Menikahlah denganku,” pintanya dengan tatapan penuh permohonan.
Heidi tertawa. “Begitu menikah, kamu seketika akan jadi seorang bapak dari dua orang anak. Apakah kamu sanggup menanggung beban mereka itu?”
“Tentu saja. Kalau kamu saja sendirian sanggup menanggungnya, kenapa aku tidak?”
“Kamu serius?” tanya Heidi dengan ragu.
“Aku sungguh sayang sama kamu, Heidi, dari dulu hingga sekarang. Dan aku juga akan menyayangi anak-anak itu pastinya.”
“Oke, kalau gitu ajak orang tuamu ke rumahku untuk menemui ibuku.”
Irfan mengambil tangannya untuk menggenggamnya. Namun sesaat tangan itu terlepas manakala rombongan bocah-bocah mungil dan lucu serta berseragam keluar dari pintu gerbang. Dan sepasang diantaranya menemui Heidi serta menatap penuh tanya pada lelaki di dekatnya.
Heidi memperkenalkan mereka pada Irfan. dan dalam beberapa saat nampak Irfan membopong salah satu anak itu menuju mobilnya. Dan Heidi membawa satunya lagi membuntuti di belakangnya. (Tamat)
Salam.Surya Dewandari [fiksi.kompasiana.com]
Irfan membaca status facebook yang bermunculan di layar komputernya. Matanya berhenti pada sosok dalam sebuah foto profile.
ilustrasi |
Hubungan mereka waktu itu sangat dekat, meski tidak sampai tahap pacaran. Hampir memasuki gerbang pacaran, namun karena sesuatu hal, perasaan yang penuh bunga itu bagai tak ada lagi wanginya dan kehilangan warna cerahnya. Entah apa yang mereka perdebatkan waktu itu. Skripsi adalah satu alasan tepat untuk menciptakan jarak di hati yang mulai merasakan kehambaran dan keasingan satu dengan yang lain. Dan setelah itu keduanya mencuat, melejit, dan mencapi garis takdir masing-masing. Irfan sempat mencarinya ketika wisuda. Tapi ia tidak menemukannya. Dalam buku daftar peserta wisuda ada tertulis nama Heidi Kusumawardani. Tapi di mana dia? Kemudian dari salah seorang teman, Irfan mendapatkan informasi tentang keberadaan Heidi. Dia sedang naik gunung!
Menggelegak hati Irfan oleh kemarahan. Benar-benar sakit jiwa. Geramnya sembari mengepal-ngepalkan tinjunya dengan keras. Entah siapa yang akan menjadi sasaran tonjokannya. Wisuda adalah hari yang bersejarah bagi semua mahasiswa. Tapi Heidi? Tidakkah dia itu ingin membahagiakan orang tuanya yang sudah susah payah membiayainya kuliah? Meski hanya sekedar foto bersama dengan mengenakan toga, sebagai bukti atau pun kenang-kenangan bahwa ia pernah mengenyam pendidikan di sebuah universitas. Lalu apa yang dilakukannya di puncak gunung? Apa ia membawa toganya ke puncak gunung, dan berfoto bersama teman-teman gebleknya?!
Heidi tidak pernah ingin jadi guru seperti keinginan orang tuanya. Jadi menurutnya kalau ia kuliah itu bukan untuk dirinya, tapi untuk orang tuanya. Tidak masalah ia akan mbolos kuliah sampai berhari-hari hanya untuk urusan naik gunung. “Yang penting IP-ku bagus!” sahutnya cuek menanggapi teguran Irfan setiap kali melihatnya menenteng tas ransel berisi perlengkapan naik gunung.
Tujuh tahun berlalu. Dalam usianya yang sekarang adalah titik akhir ia harus mengakhiri masa lajangnya. Itu prinsipnya sejak dulu kala. Tapi dengan siapa ia akan menikah? Sekali lagi ia menatap foto profile di dalam layar monitornya. Hanya Heidi yang sejak dulu ia impi-impikan untuk menjadi pendamping hidupnya. Tapi ke mana dia? Tidak ada info jelas di kota mana keberadaannya saat ini. Hanya email. Apa ia masih di rumahnya yang dulu? Dia masih berada di kota ini?
Kepalanya tergeleng pelan membantah tanya dalam hatinya. Mustahil ia betah tinggal di kota kelahirannya selama berpuluh tahun. Yang ada juga dia pasti sudah keliling ke berbagai pulau atau bahkan sudah terbang ke negara lain. Bukankah itu cita-citanya? Ia ingin pergi ke suatu tempat yang jauh dari tempat tinggalnya. Dan nggak bakal kembali lagi. Irfan ingat Heidi mengatakan hal itu karena marah dengan bapaknya. Karena bapaknya selalu mengatur-ngatur dan memaksakan sesuatu untuk kehidupan dan masa depannya. Termasuk ketika ia harus kuliah di IKIP dan jadi guru.
Dengan keberanian yang tidak utuh sama sekali ia pergi membawa mobilnya menuju rumah Heidi. Seribu satu harapan memenuhi hatinya. Dan seribu satu pikiran buruk menguasai pikirannya pula. Namun rasa cemas, gelisah dan kalut itu tergerus oleh rasa penasaran disamping rindu yang meletup lemah di dasar hatinya. Apakah Heidi masih tinggal di rumah orang tuanya? Filingnya ia ada di sana. Namun apa ia masih mengingatnya? Tentu. Mustahil ia lupa lelaki bernama Irfan. Lalu, apa dia sudah menikah? Oh, ia tak yakin dengan jawaban hatinya. Mungkin dia sudah menikah. tapi demi Tuhan, Irfan sungguh berharap mendapat sebuah keajaiban bisa menemui Heidi saat ini dalam keadaan masih perawan suci.
“Oh, teman kuliahnya yang dulu itu, ya? Iya, Heidi masih tinggal di sini. Tapi dia sedang menjemput anak-anaknya yang sekolah TK di jalan sebelum arah ke pasar. Tahu,kan? Nggak jauh, kok dari sini.” Irfan sempat termangu mendengar ucapan ibunya yang kelihatan masih awet muda itu. Masih tinggal di sini. Tapi sedang menjemput anak-anaknya. Oh, Tuhan yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, desahnya serasa ingin bersandar atas rasa putus asa yang tengah melandanya. jadi Heidi sudah menikah dan punya anak-anak? berapa anaknya? Ibunya bilang anak-anak. berarti anaknya dua, tiga atau empat. Tapi demi rasa penasaran ia tetap akan menemuinya. Ia berpamitan lalu meninggalkan rumah penuh tanaman hijau itu.
Di depan sebuah sekolah TK, nampak sosok langsing itu dengan mengenakan setelan blazer dan celana panjang serta berkerudung warna yang senada. Tidak seperti ibu-ibu lainnya yang bergerombol mengerumpi. Heidi nampak menyendiri dan sibuk dengan blackberry di tangannya. Irfan turun dari mobilnya dan perlahan melangkah ke arahnya.
“Heidi,” panggilnya dengan suara bergetar oleh kerinduan yang menggumpal-gumpal bagaikan awan putih yang bergerombol di langit. Kalau saja Heidi belum menikah mungkin ia akan memeluknya. Tapi ia tak mungkin melakukan hal sengawur itu. Bahkan untuk sekedar menyalaminya saja ia tak punya keinginan. Dilihatnya perempuan itu terpana hingga beberapa saat oleh kehadirannya. Dan keterkejutan itu akhirnya ditutupnya dengan ulasan senyuman yang manis namun berwibawa.
“Irfan,” gumamnya perlahan sambil tak putus menatap lelaki di hadapannya. Ia juga tak menyentuh atau mengguncang lengannya seperti dulu. Apa karena statusnya yang sudah menikah atau karena mengira Irfan juga sudah menikah pula? Entahlah.
“Aku tadi ke rumahmu. Kata ibumu kamu menjemput anak-anakmu di sekolah ini. Jadi aku ke sini.,” ucapnya setelah sekilas berbasa basi menanyakan kabar. Irfan menyadari jauhnya perbedaan penampilan Heidi dengan ibu-ibu penjemput lainnya. Nggak mungkin sehari-harinya Heidi mengenakan pakaian seformil itu hanya untuk menjemput anak sekolah. kecuali dia…”Kamu kerja? Kerja di mana?”
“Aku mengajar,” jawabnya sambil tersenyum sementara matanya menatap Irfan, seolah menunggu reaksi keras yang bakal ditunjukkannya. “Aku jadi dosen di universitas swasta. Iya, aku dulu memang menolak jadi guru, tapi kenyataannya aku malah jadi dosen. Nggak tahu, mungkin sudah takdir aku harus mengikuti jejak profesi bapakku. Dan agaknya aku nggak bisa keluar dari jalur takdirku itu,” tawanya renyah tersembur. “Aku juga ingin pergi dari tempat ini. Aku sempat ke Australi, tapi hanya beberapa tahun untuk menyelesaikan S2-ku. Setelah itu aku mau nggak mau kembali ke sini.”
“Kamu sudah S2? Di Australi lagi!” seru Irfan takjub. Kepalanya menggeleng-geleng heran bercampur kagum.
Heidi mengibaskan tangannya ke udara. “Alhamdulillah, aku dapat beasiswa dari tempatku mengajar. Kalau dengan biaya sendiri mana mampu?”
“Suamimu anak pecinta alam yang sering mengajakmu naik gunung dulu itu?” tanya Irfan menekan nada getir sekaligus ketus dalam kalimatnya. Ia menatap wajah cantik itu dengan tajam hingga seolah menembus ke jantungnya untuk mendengar jawabannya.
“Gila, anak pecinta alam siapa? Aku belum menikah.”
“Kamu belum menikah? Lalu anak-anakmu?”
Heidi menghela nafas. “Aku mengadopsi anak itu dari bayi. Dua bocah kembar itu ditinggal begitu saja oleh ibunya selesai dia melahirkan di sebuah klinik bersalin milik teman ibuku. Begitu melihatnya aku langsung jatuh cinta. Lalu kubawa mereka ke rumah. Aku merawatnya bersama ibuku selama empat tahun ini.” Heidi lalu menatapnya pula dengan lebih seksama.”Kamu sendiri?”
“Yach, beginilah keadaanku. Tidak ada cewek yang mau menikah dengan lelaki seperti aku ini.”
“Kasihan banget kamu? Jadi cewek-cewek Senat yang kamu bangga-banggakan dulu itu sudah mencampakkanmu?” ejeknya tanpa ampun.
“Bukan begitu. Aku hanya ingin menikah denganmu. Aku bersyukur kamu masih mau menungguku.”
“Jangan ge-er!” sergahnya seketika.
“Menikahlah denganku,” pintanya dengan tatapan penuh permohonan.
Heidi tertawa. “Begitu menikah, kamu seketika akan jadi seorang bapak dari dua orang anak. Apakah kamu sanggup menanggung beban mereka itu?”
“Tentu saja. Kalau kamu saja sendirian sanggup menanggungnya, kenapa aku tidak?”
“Kamu serius?” tanya Heidi dengan ragu.
“Aku sungguh sayang sama kamu, Heidi, dari dulu hingga sekarang. Dan aku juga akan menyayangi anak-anak itu pastinya.”
“Oke, kalau gitu ajak orang tuamu ke rumahku untuk menemui ibuku.”
Irfan mengambil tangannya untuk menggenggamnya. Namun sesaat tangan itu terlepas manakala rombongan bocah-bocah mungil dan lucu serta berseragam keluar dari pintu gerbang. Dan sepasang diantaranya menemui Heidi serta menatap penuh tanya pada lelaki di dekatnya.
Heidi memperkenalkan mereka pada Irfan. dan dalam beberapa saat nampak Irfan membopong salah satu anak itu menuju mobilnya. Dan Heidi membawa satunya lagi membuntuti di belakangnya. (Tamat)
Salam.Surya Dewandari [fiksi.kompasiana.com]
0 Leave Your Comment :
Post a Comment
Thanks you for your visit please leave your Comment