Sepasang Mata Mengintip
FOCUS-GLOBAL.CO.CC-The Paijo Family (6) Sekali tiup, padamlah nyala lilin yang berjumlah tujuhbelas di atas kue tart. Maklumlah, karena Onah mendapat bala bantuan dari emak dan bapaknya yang dengan sekuat tenaga menghembuskan nafas berikut percikan ludah untuk memadamkan nyala lilin sebagai pertanda genapnya usia Onah yang ke-tujuhbelas.
"Hip Hip Hura," seru Tarigan yang jadi pembawa acara.
"Stop, stop. Kayak bule aja pake hip hip hura. Ganti hore aja," Maing yang merasa ikut andil atas terlaksananya hajatan ultah Ona buka suara.
"Kasih kesempatan dulu kepada the Faijo Pamili untuk memberi sambutan," Cecep turut meramaikan suasana.
"Paijo Family, Cep..." Apollo yang asli Nias menimpali.
"Sebodo teuing, Enakkan juga pamili, lidah-lidah gue," Cecep tak mau kalah.
"Sssstttt, sudah-sudah, gue pembawa acaranya, gue rajanya, yang lain diam," Tarigan menenangkan suasana.
Sejenak Tarigan bertatapan dengan Onah sebagai tuan rumah, setelah Onah mengedipkan mata tanda setuju, pemuda berdarah Batak itu pun berseru kembali, "hip hip... hore...."
"Ngapain pake hip hip segala," Maing masih memprotes.
"Hei.. Maing, cem mana pulak kau, sudahlah.. aku yang atur pesta ini, kau turut saja!" sambar Tarigan.
Menyaksikan adegan perseteruan dua remaja itu, Pay dan Ijah tak kuat menahan tawa. Maka, begitu melihat si empunya rumah tertawa, meldaklah tawa seisi ruangan.
Ha ha ha ha...
"Hip hip... hahahahaha....."
Sementara di dalam ruangan hingga halaman yang biasa digunakan sebagai warung terbuka Mak Ijah riuh oleh tetamu yang bergembira, sepasang mata mengintip dari balik pelepah palem botol di luar pagar rumah Paijo. Cahaya matanya nampak bahagia, tapi di tepian bola matanya nampak air mata mengembang.
Dialah Hendry yang datang diam-diam. Dia hanya ingin melihat Onah dari kejauhan untuk memastikan sang mantan kini lebih bahagia setelah pisah darinya.
Hendry tak kuasa berlama-lama di sana. Dengan sapu tangan merah jambu, dia usap air matanya, lantas bergegas meninggalkan persembunyiannya.
Saat bersamaan, di dalam ruangan, Onah sedang membuka sebuah kado tanpa identitas. Entah apa soalnya, hatinya tergetar saat tangannya membuka isi kado itu.
Sebuah kamera saku dengan secarik kertas menyertainya. "Semoga panjang usia, bahagia senantiasa. 'H'." Usai membaca, mata Onah langsung jelalatan. Dia tahu, pengirimnya ada di sekitar rumah. Lantas, tanpa pamit ke siapapun yang ada di ruangan, Onah bergegas keluar rumah.
Onah tertegun, saat matanya menangkap punggung yang pernah ia kenali dulu, melesat bersama motor yang dikenadarinya. "Bang Hendry..." seru Onah lirih.
Sejenak Onah mematung di sana, di luar pagar rumahnya. Dia baru tersadar saat tangan kukuh milik ayahnya memegang kedua pundaknya. "Ayo ke dalam lagi, nak. Kawan-kawanmu sudah menunggu untuk melanjutkan acara," suara Pay lembut.
Lamat-lamat dari dalam rumah terdengar suara Ody, penyair yang juga musisi, sedang berlagu sambil memetik gitar.
cinta... kau dengarkah suaraku/
memanggil namamu tiap detik tiap waktu
cinta... kau rasakan debar rinduku
bergelora slalu, seperti laut biru
yang pecah di pantaimu.. di pantaimu... di hatimu
Syair dan suara Ody langsung membuat pecah tangis Onah. Anak gadis itu tak kuasa menahan kepedihannya. Sambil sesunggukan, dia peluk tubuh ayahnya erat-erat.
Melihat kesedihan Onah, Ody pun menghentikan nyanyiannya. Tapi ini tak lama, sebab Onah justru meminta Ody menyelesaikan lagu ciptaannya itu.
ingin kulipat jarak membentang
biar leluasa aku menyentuhmu
tak cuma seperti bayang-bayang
yang selalu saja membuatku kelu (lagu "Cinta", JY)
bagaikan lonceng yang berdentang-dentang dari malam hingga sampai ke ujung senja hatiku tak pernah sunyi lengang oleh wajahmu cinta, oleh wajahmu cinta.. cinta...
Usai Ody menyelesaikan lagunya, Onah tersenyum seraya mengusap air matanya. Plok plok plok...
Tepukan tangan Onah menjadi pelengkap sempurna suasana sore itu. Seisi ruangan kembali ceria ketika semua tamu mengikuti Onah bertepuk tangan.
Menjelang adzan maghrib, pesta usai. Onah memang bahagia, tapi ada yang menyerupai duri menusuk-nusuk dadanya. sumber-Kompas.com
fineartamerica.com |
"Stop, stop. Kayak bule aja pake hip hip hura. Ganti hore aja," Maing yang merasa ikut andil atas terlaksananya hajatan ultah Ona buka suara.
"Kasih kesempatan dulu kepada the Faijo Pamili untuk memberi sambutan," Cecep turut meramaikan suasana.
"Paijo Family, Cep..." Apollo yang asli Nias menimpali.
"Sebodo teuing, Enakkan juga pamili, lidah-lidah gue," Cecep tak mau kalah.
"Sssstttt, sudah-sudah, gue pembawa acaranya, gue rajanya, yang lain diam," Tarigan menenangkan suasana.
Sejenak Tarigan bertatapan dengan Onah sebagai tuan rumah, setelah Onah mengedipkan mata tanda setuju, pemuda berdarah Batak itu pun berseru kembali, "hip hip... hore...."
"Dialah Hendry yang datang diam-diam. Dia hanya ingin melihat Onah dari kejauhan untuk memastikan sang mantan kini lebih bahagia setelah pisah darinya"
"Ngapain pake hip hip segala," Maing masih memprotes.
"Hei.. Maing, cem mana pulak kau, sudahlah.. aku yang atur pesta ini, kau turut saja!" sambar Tarigan.
Menyaksikan adegan perseteruan dua remaja itu, Pay dan Ijah tak kuat menahan tawa. Maka, begitu melihat si empunya rumah tertawa, meldaklah tawa seisi ruangan.
Ha ha ha ha...
"Hip hip... hahahahaha....."
Sementara di dalam ruangan hingga halaman yang biasa digunakan sebagai warung terbuka Mak Ijah riuh oleh tetamu yang bergembira, sepasang mata mengintip dari balik pelepah palem botol di luar pagar rumah Paijo. Cahaya matanya nampak bahagia, tapi di tepian bola matanya nampak air mata mengembang.
Dialah Hendry yang datang diam-diam. Dia hanya ingin melihat Onah dari kejauhan untuk memastikan sang mantan kini lebih bahagia setelah pisah darinya.
Hendry tak kuasa berlama-lama di sana. Dengan sapu tangan merah jambu, dia usap air matanya, lantas bergegas meninggalkan persembunyiannya.
Saat bersamaan, di dalam ruangan, Onah sedang membuka sebuah kado tanpa identitas. Entah apa soalnya, hatinya tergetar saat tangannya membuka isi kado itu.
Sebuah kamera saku dengan secarik kertas menyertainya. "Semoga panjang usia, bahagia senantiasa. 'H'." Usai membaca, mata Onah langsung jelalatan. Dia tahu, pengirimnya ada di sekitar rumah. Lantas, tanpa pamit ke siapapun yang ada di ruangan, Onah bergegas keluar rumah.
Onah tertegun, saat matanya menangkap punggung yang pernah ia kenali dulu, melesat bersama motor yang dikenadarinya. "Bang Hendry..." seru Onah lirih.
Sejenak Onah mematung di sana, di luar pagar rumahnya. Dia baru tersadar saat tangan kukuh milik ayahnya memegang kedua pundaknya. "Ayo ke dalam lagi, nak. Kawan-kawanmu sudah menunggu untuk melanjutkan acara," suara Pay lembut.
Lamat-lamat dari dalam rumah terdengar suara Ody, penyair yang juga musisi, sedang berlagu sambil memetik gitar.
cinta... kau dengarkah suaraku/
memanggil namamu tiap detik tiap waktu
cinta... kau rasakan debar rinduku
bergelora slalu, seperti laut biru
yang pecah di pantaimu.. di pantaimu... di hatimu
Syair dan suara Ody langsung membuat pecah tangis Onah. Anak gadis itu tak kuasa menahan kepedihannya. Sambil sesunggukan, dia peluk tubuh ayahnya erat-erat.
Melihat kesedihan Onah, Ody pun menghentikan nyanyiannya. Tapi ini tak lama, sebab Onah justru meminta Ody menyelesaikan lagu ciptaannya itu.
ingin kulipat jarak membentang
biar leluasa aku menyentuhmu
tak cuma seperti bayang-bayang
yang selalu saja membuatku kelu (lagu "Cinta", JY)
bagaikan lonceng yang berdentang-dentang dari malam hingga sampai ke ujung senja hatiku tak pernah sunyi lengang oleh wajahmu cinta, oleh wajahmu cinta.. cinta...
Usai Ody menyelesaikan lagunya, Onah tersenyum seraya mengusap air matanya. Plok plok plok...
Tepukan tangan Onah menjadi pelengkap sempurna suasana sore itu. Seisi ruangan kembali ceria ketika semua tamu mengikuti Onah bertepuk tangan.
Menjelang adzan maghrib, pesta usai. Onah memang bahagia, tapi ada yang menyerupai duri menusuk-nusuk dadanya. sumber-Kompas.com
0 Leave Your Comment :
Post a Comment
Thanks you for your visit please leave your Comment