Fantasi-Fantasi Seks Internet
FOCUS-GLOBAL.CO.CC— Fantasi-Fantasi Seks Internet Tidak semua hewan melakukan hubungan seksual. Perkembangan sebuah spesies bisa berkembang secara aseksual. Seks menjadi masalah pada hewan seksual, termasuk manusia. Masalahnya mengapa soal fundamental ini lebih menguat dibicarakan ketimbang bidang lain, seperti makanan dan rumah, yang sebenarnya menjadi masalah mendasar setiap hari?
Harus dijelaskan bahwa seks lebih menarik dibicarakan karena tabu. Dalam masyarakat Timur yang rasionalitasnya masih tergolong rendah, tabu membicarakan sesuatu ibarat membicarakan hal-hal yang misterius. Semakin ditabukan, seks menjadi isu yang menarik. Dan ini juga masih terjadi pada era serba canggih zaman teknologi informasi sekarang ini. Melalui buku tersebut, kita akan mendapat suguhan, bagaimana seksualitas beroperasi dalam internet.
Perempuan menjadi sentral dalam topik seksual di internet karena di sanalah fakta obyektif laki-laki lebih dominan mengambil peran sebagai subyek dan perempuan menjadi obyek seksual. Di masyarakat kita, seks, yang karena dianggap tabu, berdampak pada asumsi sesuatu yang menjijikkan. Mereka yang menganggap seks sebagai praktik privat pasangan suami istri manakala muncul ke ruang publik menjadi begitu mencemaskan.
Anehnya mengapa hal yang menjijikkan itu justru banyak mendapat tempat yang luas. Bahkan ketika seribu cara dilakukan untuk menanggulangi, selalu ada sejuta cara untuk tetap menghidupkan seks di ruang publik
Dari pengamatan sang penulis buku ini, tampak terlihat bagaimana susunan dan cara penampilan distrukturkan melalui hubungan yang berlaku antara internet dengan para pemilik modal (kapitalis) pornografi dan pelaku (eksibisionis/model), di mana cara pandang mereka pada internet menunjukkan ada pengaruh oleh kehidupan organisasi domestik dan kekuasaan atas dasar kepentingan politik dan ekonomi. (Hlm 9).
Di ruang publik cyber itu, perempuan seolah-olah menjadi barang dagangan dengan cara yang paling sensasional (seks-gila-gilaan). Perempuan menjadi barang yang paling menarik dikejar oleh laki-laki karena cara pandang tradisional masih begitu kuat mendudukkan pola hubungan patriarki.
Dunia cyberporn semakin gencar dan menantang orang untuk melakukan voyeurisme atau melihat secara diam-diam dengan cara mengintip kaum hawa di internet. Dan di sanalah berkembang fantasi seks kaum lelaki atas perempuan-perempuan yang dijadikan atau rela menjadikan diri sebagai obyek seksual.
Melalui sudut pandang hubungan feminisme kritis, buku ini memperlihatkan bagaimana masyarakat tradisional yang beroperasi di dunia internet menunjukkan bagaimana laki-laki masih kuat mendominasi perempuan. "Laki-laki sebenarnya tidak bisa mengendalikan semua hal."
Dengan kata lain, kaum adam masih memiliki persoalan dalam cara pandang terhadap perempuan. Mendudukkan perempuan dalam konteks seksual ini menjadi nilai hidup laki-laki tergolong rendah karena bermain di wilayah kehidupan semu dan mereka para penikmat pornografi itu tergolong jauh dari kesadaran sejati tentang bagaimana seharusnya berhubungan secara tepat dan baik terhadap perempuan.
Dengan pendekatan kritis, buku ini memberikan hal yang baru untuk bagaimana masyarakat kita, terutama lelaki dan perempuan, bermitra sinergis dengan cara dialog kritis menjawab mengapa masalah seksual ada yang harus jadi subyek dan harus jadi obyek. Pendekatan kritis seperti ini akan membuat kaum lelaki lebih meningkatkan kesadaran untuk tidak memperlakukan perempuan sebagai obyek, dan dengan itu pula kaum perempuan tidak mudah terperosok menjadi bulan-bulanan dominasi lelaki.
Buku ini tergolong unik karena secara simpel mampu memetakan berbagai cara pandang pemikiran tentang seksual. Dari cara pandang itu, kita mengenal peta untuk meneropong seksualitas di era teknologi informasi. Penulisnya memiliki tawaran bahwa masalah dan solusinya bukan pada internet, melainkan dari kesadaran dan cara pandang manusia itu sendiri. Selain analisis keilmuan, buku ini menyajikan pengakuan-pengakuan berbagai pihak (pelaku seks ala cyberporn) untuk menjawab mengapa dan bagaimana semua itu terjadi.
Adapun mengenai letak kelemahan, agaknya buku ini ditulis dengan terlalu emosional. Karena penulisnya seorang perempuan, terkadang di beberapa bagian disisipkan gugatan-gugatan sepihak kepada lelaki untuk lebih sadar dan mengabaikan sisi perempuan yang sebenarnya untuk saat sekarang telah banyak memiliki kesadaran yang cerdas untuk menolak patriarki. Walau demikian, buku ini tetap layak dibaca untuk memperkaya sudut pandang baru tentang hubungan seksual; layak dibaca oleh para pendidik, orangtua, dan siapa saja yang setiap hari berurusan dengan internet.
Makmun Yusuf, peminat kajian buku kritis
Judul: Birahi Maya: Mengintip Perempuan di Cyberporn
Penulis: Ellys Lestari Pambayun
Penerbit: Nuansa Cendekia Bandung, Oktober 2010
Tebal: 332 Hlm.
Harga: Rp 55.000
Harus dijelaskan bahwa seks lebih menarik dibicarakan karena tabu. Dalam masyarakat Timur yang rasionalitasnya masih tergolong rendah, tabu membicarakan sesuatu ibarat membicarakan hal-hal yang misterius. Semakin ditabukan, seks menjadi isu yang menarik. Dan ini juga masih terjadi pada era serba canggih zaman teknologi informasi sekarang ini. Melalui buku tersebut, kita akan mendapat suguhan, bagaimana seksualitas beroperasi dalam internet.
Perempuan menjadi sentral dalam topik seksual di internet karena di sanalah fakta obyektif laki-laki lebih dominan mengambil peran sebagai subyek dan perempuan menjadi obyek seksual. Di masyarakat kita, seks, yang karena dianggap tabu, berdampak pada asumsi sesuatu yang menjijikkan. Mereka yang menganggap seks sebagai praktik privat pasangan suami istri manakala muncul ke ruang publik menjadi begitu mencemaskan.
Anehnya mengapa hal yang menjijikkan itu justru banyak mendapat tempat yang luas. Bahkan ketika seribu cara dilakukan untuk menanggulangi, selalu ada sejuta cara untuk tetap menghidupkan seks di ruang publik
Dari pengamatan sang penulis buku ini, tampak terlihat bagaimana susunan dan cara penampilan distrukturkan melalui hubungan yang berlaku antara internet dengan para pemilik modal (kapitalis) pornografi dan pelaku (eksibisionis/model), di mana cara pandang mereka pada internet menunjukkan ada pengaruh oleh kehidupan organisasi domestik dan kekuasaan atas dasar kepentingan politik dan ekonomi. (Hlm 9).
Di ruang publik cyber itu, perempuan seolah-olah menjadi barang dagangan dengan cara yang paling sensasional (seks-gila-gilaan). Perempuan menjadi barang yang paling menarik dikejar oleh laki-laki karena cara pandang tradisional masih begitu kuat mendudukkan pola hubungan patriarki.
Dunia cyberporn semakin gencar dan menantang orang untuk melakukan voyeurisme atau melihat secara diam-diam dengan cara mengintip kaum hawa di internet. Dan di sanalah berkembang fantasi seks kaum lelaki atas perempuan-perempuan yang dijadikan atau rela menjadikan diri sebagai obyek seksual.
Melalui sudut pandang hubungan feminisme kritis, buku ini memperlihatkan bagaimana masyarakat tradisional yang beroperasi di dunia internet menunjukkan bagaimana laki-laki masih kuat mendominasi perempuan. "Laki-laki sebenarnya tidak bisa mengendalikan semua hal."
Dengan kata lain, kaum adam masih memiliki persoalan dalam cara pandang terhadap perempuan. Mendudukkan perempuan dalam konteks seksual ini menjadi nilai hidup laki-laki tergolong rendah karena bermain di wilayah kehidupan semu dan mereka para penikmat pornografi itu tergolong jauh dari kesadaran sejati tentang bagaimana seharusnya berhubungan secara tepat dan baik terhadap perempuan.
Dengan pendekatan kritis, buku ini memberikan hal yang baru untuk bagaimana masyarakat kita, terutama lelaki dan perempuan, bermitra sinergis dengan cara dialog kritis menjawab mengapa masalah seksual ada yang harus jadi subyek dan harus jadi obyek. Pendekatan kritis seperti ini akan membuat kaum lelaki lebih meningkatkan kesadaran untuk tidak memperlakukan perempuan sebagai obyek, dan dengan itu pula kaum perempuan tidak mudah terperosok menjadi bulan-bulanan dominasi lelaki.
Buku ini tergolong unik karena secara simpel mampu memetakan berbagai cara pandang pemikiran tentang seksual. Dari cara pandang itu, kita mengenal peta untuk meneropong seksualitas di era teknologi informasi. Penulisnya memiliki tawaran bahwa masalah dan solusinya bukan pada internet, melainkan dari kesadaran dan cara pandang manusia itu sendiri. Selain analisis keilmuan, buku ini menyajikan pengakuan-pengakuan berbagai pihak (pelaku seks ala cyberporn) untuk menjawab mengapa dan bagaimana semua itu terjadi.
Adapun mengenai letak kelemahan, agaknya buku ini ditulis dengan terlalu emosional. Karena penulisnya seorang perempuan, terkadang di beberapa bagian disisipkan gugatan-gugatan sepihak kepada lelaki untuk lebih sadar dan mengabaikan sisi perempuan yang sebenarnya untuk saat sekarang telah banyak memiliki kesadaran yang cerdas untuk menolak patriarki. Walau demikian, buku ini tetap layak dibaca untuk memperkaya sudut pandang baru tentang hubungan seksual; layak dibaca oleh para pendidik, orangtua, dan siapa saja yang setiap hari berurusan dengan internet.
Makmun Yusuf, peminat kajian buku kritis
Judul: Birahi Maya: Mengintip Perempuan di Cyberporn
Penulis: Ellys Lestari Pambayun
Penerbit: Nuansa Cendekia Bandung, Oktober 2010
Tebal: 332 Hlm.
Harga: Rp 55.000
0 Leave Your Comment :
Post a Comment
Thanks you for your visit please leave your Comment