Mengenang Sejenak Sosok Gitaris Terbaik Dunia
Dalam rangka peringatan 40 tahun kematian Jimi Hendrix bulan depan, akan diadakan sebuah pameran memorabilia dia di flat tempat Hendrix berdiam, di 23 Brook Street, London, Inggris. Kebetulan di bawah flat Hendrix ada flat lain yang pernah didiami komposer klasik George Frideric Handel yang kini menjadi museum. Ada rencana flat Hendrix pun kelak akan dijadikan sebagai museum pula.Pameran akan berlangsung 25 Agustus sampai 7 November 2010. Hendrix tinggal di flat itu bersama satu-satunya perempuan yang dia cintai, Kathy Etchingham. ”Saya ingin ia dikenang apa adanya, bukan sebagai figur yang mengalami nasib tragis yang kematiannya misterius. Ia orang yang bisa rewel, bisa brengsek di studio, tetapi juga lucu dan sopan. Saya ingin orang-orang kenal dia seperti yang saya rasakan dulu,” kata Etchingham yang kini tinggal di negara lain.
Hendrix kenal Etchingham persis ketika ia mendarat di Bandara Heathrow, London, dari New York, Amerika Serikat, 21 September 1966. James Marshall Hendrix, yang kehilangan ibunya yang wafat saat remaja, baru berusia 23 tahun. Ia sejak usia dini memang gitaris berbakat yang tergila-gila musik R&B dan blues Albert King dan Muddy Waters. Saat usia 18 tahun ia menjalani wamil bergabung dengan Divisi Linud 101.
Sekitar empat tahun kemudian, atau 18 September 1970, Hendrix ditemukan tewas di sebuah hotel di Notting Hill. Padahal, 18 hari sebelumnya ia menggemparkan dunia lewat konser di Isle of Wight. Selama berdiam di London 362 hari, Hendrix meninggalkan jejak sebagai gitaris terbaik di dunia sampai saat ini.
Menurut Paul Gilroy yang menulis buku tentang Hendrix, Darker Than Blue, kehidupan gitaris kidal itu dipengaruhi dua hal: eks peterjun payung yang mencintai perdamaian dan gitaris yang berani menembus batas-batas musik dan rasial. Sedari awal Hendrix memang sosok yang serba abu-abu karena musiknya dianggap ”kurang hitam” oleh kalangan kulit hitam dan ”kurang putih” di kalangan kulit putih.
Oleh sebab itu, dia pindah ke London karena ada sejumlah gitaris putih yang bermain musik hitam yang akrab dengan blues, seperti John Mayall, Eric Clapton, Peter Green, dan Jimmy Page. Adalah Linda Keith, pacar Keith Richards (gitaris Rolling Stones), yang membujuk Chas Chandler (pemetik bas The Animals) untuk melihat konser Hendrix di sebuah kafe di Greenwich Village, New York City, Amerika Serikat (AS).
Chandler ternganga karena kagum menyaksikan Hendrix memainkan karya Tim Rose, ”Hey Joe”. ”Chas tahu lagu itu bisa jadi hit kalau ada orang yang tepat memainkannya,” ujar Keith Altham, wartawan New Musical Express yang akrab dengan Hendrix. ”Jujur saja, pada awalnya biasa. Namun, waktu dia memainkan gitar dengan giginya, tampak jelas ia bukan gitaris sembarangan,” kata Tappy Wright, roadie The Animals.
Terjebak narkoba
Chandler sudah lama wafat, begitu pula dua personel band Hendrix, The Experience, yakni Noel Redding dan Mitch Mitchell. Sahabat dia, Brian Jones, juga sudah lama tutup usia. Satu-satunya sohib Hendrix yang masih hidup saat ini adalah Eric Burdon dari The Animals dan tentu juga masih ada eks pacarnya, Etchingham. Yang pasti, saat tiba di London, musik pop dan rock sedang subur dan para musisinya sangat akrab.
Hendrix bergaul cukup rapat dengan Pete Townshend dari The Who, Clapton, Jones, dan Mick Jagger. Selain mereka, kalangan musisi di London dengan cepat mendengar berita tentang permainan sensasional Hendrix di sejumlah kafe. Lagi pula, Hendrix pribadi yang rendah hati yang jauh dari sindrom superstar sehingga siapa pun bisa mendekati dia.
Hendrix segera membentuk The Experience yang akhirnya lebih dikenal dengan Jimi Hendrix Experience. Waktu The Experience tampil di kafe Bag O’Nails, hadir sebagai penonton keempat personel The Beatles yang amat terkejut menyaksikan bakat Hendrix. Clapton bersama Cream secara rutin mengajak Hendrix menjadi bintang tamu dalam konser-konser mereka. Perlahan-lahan, Hendrix memperbaiki aksi panggung dia, antara lain membakar gitarnya pada puncak konser. Dunia di luar Inggris mulai mengenal kehebatan Hendrix saat ia tampil di Woodstock tahun 1969, khususnya ketika memainkan lagu kebangsaan AS, ”The Star-Spangled Banner”.
Bintang
Sama seperti bintang pop dan rock ketika itu, Hendrix juga terjebak narkoba. ”Jimi tak pernah terpukau pada ketenaran, yang penting musiknya digemari banyak orang. Ia terlalu baik kepada semua orang dan tidak bisa menolak. Inilah masalah dia. Flat kami terbuka terus untuk siapa pun sepanjang hari,” kata Etchingham. Termasuk tak bisa menolak tawaran narkoba dari siapa pun.
Pacarnya juga banyak sekali, termasuk seorang Swedia dan perempuan lain yang tinggal di New York City yang memberikannya masing-masing satu anak. Sepulang dari tur ke negara-negara Skandinavia dan Jerman, Hendrix menginap di Hotel Samarkand. Sepulang dari sebuah pesta, Hendrix kembali ke hotel bersama seorang perempuan Jerman, Monika Danneman.
Menurut penuturan sejumlah saksi, Hendrix agak mabuk alkohol. Ia juga menenggak sejumlah narkoba dan pil tidur. Akibat campuran yang berbahaya itu, ia sempat muntah saat tidur. Berhubung tidak bisa bangun untuk muntah, Danneman panik dan menelepon ambulans. Namun, Hendrix keburu mati ketika tiba di Rumah Sakit St Mary Abbot.
”Jimi mati karena hal sederhana menjadi rumit. Ia mati karena ada yang memberikan dia berbagai macam obat tanpa mengetahui itu berbahaya,” kata Etchingham. Sempat muncul spekulasi mengenai pembunuhan, tetapi itu cuma upaya mendramatisasi oleh sebagian kalangan yang ingin memetik keuntungan dari kematian seorang musisi terkenal.
(Guardian/bas) Sumber Berita Kompas.com
0 Leave Your Comment :
Post a Comment
Thanks you for your visit please leave your Comment