Breaking News
Loading...
Loading...
Oct 11, 2012

Ekspedisi Cincin Api

Setelah menyelesaikan laporan dalam bentuk tertulis di Harian Kompas maupun di tablet (versi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), Tim Ekspedisi Cincin Api kini mulai menurunkan laporan dalam bentuk esai foto di tablet

Ekspedisi Cincin Api
Cover Laporan Tim Ekspedisi Cincin Api edisi esai foto Supervolcano
Edisi pertama dengan tajuk Supervulcano sudah bisa diunduh sejak Rabu (10/10/2012) malam tadi. Laporan ini bisa diunduh dari tablet, baik iPad maupun Android dengan cuma-cuma tanpa berbayar.
Supervulcano menyajikan foto-foto pilihan tim Ekspedisi Cincin Api di Gunung Toba, Gunung Anak Krakatau, dan Gunung Tambora. Ketiga gunung itu dipilih karena letusannya yang sangat dahsyat di masa lalu.

Gunung Toba, misalnya, kini nyaris tak lagi dikenal. Masyarakat lebih mengenal Danau Toba yang sangat indah dan populer sebagai obyek wisata. Padahal, Danau Toba sebenarnya adalah kawah gunung api raksasa (supervolcano) yang sudah beberapa kali meletus dan masih menyimpan kantong magma di bawahnya.

Krakatau juga merupakan pulau gunung api yang telah beberapa kali meletus. Awalnya, gunung ini menjulang tinggi di tengah Selat Sunda, namun ratusan ribu tahun lalu terjadi letusan dahsyat yang menghancurkan lebih dari dua pertiga bagian Krakatau. Letusan itu menyisakan tiga pulau kecil yang dikenal sebagai Pulau Rakata, Panjang, dan Sertung.

Dari dasar laut di tengah ketiga pulau ini muncullah dua pulau gunung api baru, yaitu Danan dan Perbuatan. Namun, pada 27 Agustus 1883, kedua pulau gunung api ini meledak. Pulau Danan dan Perbuatan menghilang ke dalam laut.

Suara letusannya terdengar hingga di Kepulauan Mauritus yang berjarak sekitar 4.800 km. Letusan ini menurut De Neve (1984) berkekuatan 21.574 kali bom atom dan berskala 6 menurut VEI.
Tak hanya menghancurkan tubuh Pulau Krakatau, kekuatan letusan ini juga menyebabkan kehancuran hingga ke pesisir Banten dan Lampung. Gelombang awan panas yang masuk ke lautan memicu terbentuknya tsunami raksasa.

Tsunami ini menghancurkan desa-desa di pesisir Banten dan Lampung. Setidaknya 163 desa hancur dan 36.417 orang tewas seketika. Tsunami yang diakibatkan oleh letsuan Krakatau ini merupakan salah satu yang terbesar yang diakibatkan oleh letusan gunung api. Penjalaran gelombang tsunami ini bahkan mencapai Port Elizabeth di Afrika Selatan yang berjarak 8.700 km.
Setelah hancur berkeping-keping, pada 29 Desember 1927, di bekas Pulau Danan dan Perbuatan kembali muncul pulau gunung api. Pulau inilah yang kini dikenal sebagai Anak Krakatau.

Tambora
Sebelum April 1815, Tambora adalah gunung api dengan ketinggian 4.200 mdpl. Letusan hebat telah melenyapkan nyaris separuh tubuh gunung di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini, menyisakan ketinggian Tambora menjadi hanya 2.751 mdpl.

Letusan pertama terjadi pada Rabu, 5 April 1815. Suara ledakannya terdengar keras hingga Batavia (Jakarta), Makassar, dan Ambon. Bunyi dentuman terus terdengar hingga tengah malam. Puncaknya, pada 10 April 1815, saat dentuman terdengar sangat kencang hingga Padang (Sumatera Barat), yang berjarak lebih dari 2.000 kilometer dari Tambora.

Letusan ini menciptakan kolom api hingga ketinggian 43 km—empat kali ketinggian jelajah pesawat terbang komersial. Kekuatan letusannya, berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI), berada pada skala 7 dari 8.
Total volume yang dikeluarkan Gunung Tambora saat meletus hebat hampir 200 tahun silam mencapai 150 kilometer kubik atau 150 miliar meter kubik. Deposit jatuhan abu yang terekam hingga sejauh 1.300 kilometer dari sumbernya.

Distribusi awan panas diperkirakan mencapai area 820 kilometer persegi. Ketebalan awan panas rata-rata 7 meter, tetapi ada yang mencapai 20 meter.
Aliran awan panas itulah yang menghancurkan Semenanjung Sanggar, memusnahkan seluruh Kerajaan Tambora dan Pekat, serta menyisakan Kerajaan Sanggar yang sekarat.
Tak hanya Semenanjung Sanggar, dua pulau di sebelah barat Sumbawa, Bali, dan Lombok juga terpapar sangat parah. Di kedua pulau itu, banyak orang tewas karena tertimpa atap bangunan yang roboh tidak kuat menyangga abu. Namun, jumlah terbesar adalah karena bencana gagal panen.
Kelaparan melanda Bali dan Lombok beberapa saat setelah letusan. Hingga setahun kemudian, penduduk di kedua pulau ini total tergantung pada pasokan beras dari Jawa. Sebagai ganti, pembayarannya adalah budak, karena mereka tak memiliki cukup uang lagi.

Bataviasche Courant pada 26 Oktober 1816 melaporkan, suasana di Bali waktu itu dengan mengerikan. Korban yang selamat (dari letusan Tambora) terlalu lemah dan miskin untuk membayar biaya penguburan keluarga yang mati.

Pada tahun 1818, perwakilan Pemerintah Belanda, Van den Broek, dalam kunjungannya ke Bali melihat 34 jasad tergeletak di jalan. Pada 1821, para pelaut menyebutkan, banyak jasad mengambang di pantai.
Van Broek memperkirakan, dua pertiga dari 200.000 penduduk Lombok tewas dan hanya menyisakan 20.000-25.000 warga yang selamat. Namun, ahli botani Zollinger yang datang ke Tambora pada 1847 memperkirakan korban tewas akibat letusan hanya berkisar 10.000 orang.
Ahli biologi Junghuhn memperkirakan korban tewas di Lombok mencapai 44.000 orang, sama dengan geolog Petroeschevsky. Pemerintah Belanda memperkirakan korban tewas di Bali sebanyak 25.000 orang. Namun, angka ini dinilai para sejarawan terlalu rendah.
Editor :Marcus Suprihadi (sumber)
Follow Our Twitters

0 Leave Your Comment :

Post a Comment

Thanks you for your visit please leave your Comment

Back To Top