Kisah Bocah Bomber Afganistan
Begitu sering kita mendengar aksi bom bunuh diri di Afganistan. Tak hanya orang dewasa, kelompok teroris di balik aksi keji itu juga menyasar sejumlah anak kecil sebagai pelaku.
Lewat metode cuci otak, anak-anak dijejali informasi sesat yang membuat mereka dengan rela melakukan aksi bom bunuh diri.
Begitu sederhana kaum teroris mencuci otak anak-anak kecil di negara tersebut. "Kami diberi tahu bahwa bom tidak akan membunuh kami, hanya orang Amerika yang akan mati," kata Abdul Samat, seorang bocah 13 tahun, calon bomber di Afganistan, seperti dikutip harian Inggris, Telegraph.
Abdul sempat begitu percaya dengan kata-kata sang teroris. Ia pun menurut saat matanya ditutup, lalu tubuhnya dipasangi rompi dengan muatan eksplosif.
Namun, beberapa menit sebelum melangkah menuju target serangan di Kandahar, ia tersadar. Bocah asal Quetta, daerah yang berbatasan dengan Pakistan, itu segera menyadari kebohongan sang teroris yang tengah mengubah tubuhnya menjadi bom manusia.
"Ketika membuka mata, saya melihat hal-hal menyesatkan, mereka ingin saya melakukannya (mengebom)," Abdul mengingat. "Saya menangis dan berteriak. Orang-orang keluar dari rumah dan bertanya apa yang salah. Saya lalu menunjuk sesuatu di rompi saya. Mereka pun takut dan menelepon polisi untuk melepasbom dari tubuh saya."
Pejabat keamanan Afganistan mengatakan bahwa cerita Abdul bukan rekaan. Pada tahun lalu, serangkaian bom bunuh diri melibatkan anak-anak yang sebagian masih berusia 10 tahun. Cara ini dipilih karena anak-anak cenderung lebih mudah melewati pos pemeriksaan daripada pria dewasa.
Seorang pejabat intelijen senior Afganistan memperkirakan bahwa lebih dari 100 anak dicuci otaknya, dalam 12 bulan terakhir. Para teroris berusaha memanfaatkan keluguan mereka untuk direkrut menjadi 'senjata'.
Anak-anak yang sebagian besar buta huruf itu diambil dari sejumlah keluarga miskin dengan iming-iming pendidikan gratis. Mereka dijejali propaganda antipemerintah dan anti-Barat sampai mereka siap membunuh. "Bagian terburuk adalah anak-anak itu tidak berpikir bahwa mereka itu sedang bunuh diri," kata pejabat itu.
"Mereka sering diberi jimat yang berisi ayat-ayat Alquran, namun dengan pemahaman sesat bahwa saat bom meledak, mereka akan bertahan dan Allah akan membantu mereka bertahan dari api. Hanya orang-orang kafir yang akan dibunuh, mereka akan diselamatkan dan orangtua mereka akan pergi ke surga."
Tidak Islami
Sepanjang perang melawan Uni Soviet pada 1980-an, yang diikuti konflik sipil, pejuang Afganistan menolak serangan bunuh diri karena dianggap pengecut dan tidak Islami. Namun, situasi berubah setelah 2001.
Taliban menyangkal menggunakan anak-anak sebagai bomber. Salah satu fasilitator Taliban dari Afganistan Utara mengatakan kepada The Daily Telegraph, "Semua bomber kami adalah laki-laki dan mereka semua relawan. Kami tidak pernah menggunakan anak laki-laki pra-puber."
Tapi NATO dan pejabat keamanan Afganistan meyakini taktik bom bunuh diri yang melibatkan anak-anak telah diadopsi secara luas. Kelompok teroris yang dicurigai adalah jaringan Haqqani, sebuah kelompok pemberontak yang selaras dengan Taliban. (ren) Sumber • VIVAnews
Abdul Samat (telegraph) |
Begitu sederhana kaum teroris mencuci otak anak-anak kecil di negara tersebut. "Kami diberi tahu bahwa bom tidak akan membunuh kami, hanya orang Amerika yang akan mati," kata Abdul Samat, seorang bocah 13 tahun, calon bomber di Afganistan, seperti dikutip harian Inggris, Telegraph.
Abdul sempat begitu percaya dengan kata-kata sang teroris. Ia pun menurut saat matanya ditutup, lalu tubuhnya dipasangi rompi dengan muatan eksplosif.
Namun, beberapa menit sebelum melangkah menuju target serangan di Kandahar, ia tersadar. Bocah asal Quetta, daerah yang berbatasan dengan Pakistan, itu segera menyadari kebohongan sang teroris yang tengah mengubah tubuhnya menjadi bom manusia.
"Ketika membuka mata, saya melihat hal-hal menyesatkan, mereka ingin saya melakukannya (mengebom)," Abdul mengingat. "Saya menangis dan berteriak. Orang-orang keluar dari rumah dan bertanya apa yang salah. Saya lalu menunjuk sesuatu di rompi saya. Mereka pun takut dan menelepon polisi untuk melepasbom dari tubuh saya."
Pejabat keamanan Afganistan mengatakan bahwa cerita Abdul bukan rekaan. Pada tahun lalu, serangkaian bom bunuh diri melibatkan anak-anak yang sebagian masih berusia 10 tahun. Cara ini dipilih karena anak-anak cenderung lebih mudah melewati pos pemeriksaan daripada pria dewasa.
Seorang pejabat intelijen senior Afganistan memperkirakan bahwa lebih dari 100 anak dicuci otaknya, dalam 12 bulan terakhir. Para teroris berusaha memanfaatkan keluguan mereka untuk direkrut menjadi 'senjata'.
Anak-anak yang sebagian besar buta huruf itu diambil dari sejumlah keluarga miskin dengan iming-iming pendidikan gratis. Mereka dijejali propaganda antipemerintah dan anti-Barat sampai mereka siap membunuh. "Bagian terburuk adalah anak-anak itu tidak berpikir bahwa mereka itu sedang bunuh diri," kata pejabat itu.
"Mereka sering diberi jimat yang berisi ayat-ayat Alquran, namun dengan pemahaman sesat bahwa saat bom meledak, mereka akan bertahan dan Allah akan membantu mereka bertahan dari api. Hanya orang-orang kafir yang akan dibunuh, mereka akan diselamatkan dan orangtua mereka akan pergi ke surga."
Tidak Islami
Sepanjang perang melawan Uni Soviet pada 1980-an, yang diikuti konflik sipil, pejuang Afganistan menolak serangan bunuh diri karena dianggap pengecut dan tidak Islami. Namun, situasi berubah setelah 2001.
Taliban menyangkal menggunakan anak-anak sebagai bomber. Salah satu fasilitator Taliban dari Afganistan Utara mengatakan kepada The Daily Telegraph, "Semua bomber kami adalah laki-laki dan mereka semua relawan. Kami tidak pernah menggunakan anak laki-laki pra-puber."
Tapi NATO dan pejabat keamanan Afganistan meyakini taktik bom bunuh diri yang melibatkan anak-anak telah diadopsi secara luas. Kelompok teroris yang dicurigai adalah jaringan Haqqani, sebuah kelompok pemberontak yang selaras dengan Taliban. (ren) Sumber • VIVAnews
0 Leave Your Comment :
Post a Comment
Thanks you for your visit please leave your Comment