Transaksi Seks Gang Dolly
FOCUS-GLOBAL.CO.CC-Seputar Kabar Gang Dolly Sejumlah peraturan baru dari Pemerintah Kota Surabaya yang ujungnya untuk mematikan kawasan lokalisasi Dolly, diperkirakan tak cukup ampuh memberantas praktik prostitusi di Kota Pahlawan. Pasalnya, para penjaja seks memiliki banyak trik agar bisa bertahan.
Jumlah pelanggan dan PSK di lokalisasi Dolly dan Jarak semakin menyusut setelah pemkot memberlakukan larangan mendatangkan pekerja seks komersial (PSK) baru, membatasi jam berkunjung dari 24 jam menjadi 15 jam dan rencana memasang kamera pengintai (CCTV). Jumlah PSK di Dolly dan Jarak pada 2009 sekitar 1.200 kini menjadi sekitar 1.100 orang.
Namun, menurunnya, geliat prostitusi di Dolly ternyata tidak otomatis mengurangi maraknya praktik prostitusi di Surabaya. “Para pekerja seks di sini punya kiat sendiri agar tetap bisa hidup. Kalau tidak melayani di sini, mereka bisa di-booking out (BO),” ujar salah satu mucikari Dolly, Jumat (3/6).
Lelaki yang enggan namanya disebut itu mengungkapkan, BO biasa dilakukan pelanggan yang merasa tidak nyaman lagi berkencan di kawasan Dolly. “Mereka kalau di BO, biasa melayani pelanggan di hotel-hotel. Tapi memang tidak semua pelanggan bisa BO PSK di sini. Hanya pelanggan yang loyal saja yang dilayani,” ungkapnya.
Lekaki yang sudah 20 tahun menjadi mucikari itu mengingatkan, kendati Dolly ditutup maka praktik prostitusi tetap akan ada, bahkan akan sulit terpantau. “Dengan tidak terlokalisirnya PSK, penularan penyakit kelamin bisa dengan mudah menyebar. Aturan wajib kondom dan suntik kesehatan setiap seminggu sekali, itu kan gunanya agar PSK dan pelanggannya tidak tertular penyakit. Lha, kalau prostitusi itu kemudian sampai keluar lokalisasi, siapa yang bisa bertanggung jawab terhadap kesehatan mereka?” urainya.
Bukti lain yang menunjukkan, praktik prostitusi di Surabaya tidak hanya di Dolly adalah banyaknya pengungkapan kasus prostitusi di luar Dolly dan Jarak oleh jajaran Polrestabes Surabaya. Beberapa kali polisi membongkar kasus prostitusi dan human trafficking (perdagangan manusia). “Saya tidak ingin menghubungkan fenomena ini. Namun, polisi memang sering menindak praktik prostitusi di luar (Dolly),” kata Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Anom Wibowo.
Kepolisian sendiri sudah menyiapkan metode penindakan terkait beralihnya lokasi praktik prostitusi. Dari hasil ungkap kepolisian selama ini, lokasi prostitusi ini biasa terjadi di hotel dan bahkan melibatkan PSK usia sekolah. Artinya, lokasi untuk menyalurkan syahwat bukan hanya di lokalisasi seperti Dolly dan Jarak.
Anom juga mengingatkan, umur korban prostitusi ini semakin belia. Beberapa bulan lalu, Sat Reskrim Polrestabes Surabaya membongkar prostitusi yang melibatkan 20-an pelajar SMP.
Sementara itu skenario Pemkot Surabaya mematikan pelan-pelan kawasan lokalisasi Dolly dan Jarak mulai menunjukkan hasil. Buktinya, ada beberapa wisma di Jarak yang gulung tikar alias bangkrut. Seperti salah satu wisma di daerah Putat Jaya Gang II A. Mucikari wisma ini bangkrut akibat ditinggalkan anak buahnya. Para PSK ini memilih berpindah ke wisma lain yang lebih ramai.
Informasi yang diterima Surya, bangkrutnya wisma ini terjadi sejak ada larangan masuknya PSK baru tiga tahun silam. Bagi pelanggan, hal ini membuat mereka bosan dan mencari PSK ke lokasi lain atau memilih jasa PSK panggilan.
Tono, salah satu warga Putat Jaya mengakui, saat ini umumnya pelanggan di Jarak lebih memilih karaoke atau pesta miras dibandingkan bermain seks. Itu pun dilakukan beramai-ramai (lebih dari dua orang). “Mereka umumnya hanya menyewa satu PSK untuk menemani karaoke atau minum. Satu PSK dibayar Rp 50.000 hingga Rp 300.000. Sedangkan PSK yang lain yang nggak dibooking ya tidak dapat apa-apa,” terang pria berusia 46 tahun yang mengaku sering ngobrol dengan para mucikari. Bagi PSK yang sering dibooking umumnya kerasan, tapi mereka yang tidak laku akhirnya berpindah ke lokasi lain.
Kepala Dinas Sosial Kota Surabaya Eko Hariyanto mengatakan, upaya penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak akan dilakukan secara berkesinambungan dan lintas sektoral. Upaya Kecamatan Sawahan membatasi jam buka adalah satu bagian dari rencana ini. Sementara dinas sosial sendiri saat ini sedang merintis pembinaan PSK. Sudah ada 75 PSK yang diberi pelatihan ketrampilan tata boga sejak Mei 2011 lalu. Mereka juga diberi penguatan mental dan spiritual.
Rencananya, setelah bekal keterampilannya cukup, 75 PSK ini akan dipulangkan ke daerahnya. Untuk pemulangan ini Dinsos Surabaya akan bekerjasama dengan Pemprov Jatim karena umumnya para PSK ini berasal dari luar Surabaya. Pemprov diharapkan dapat membantu akomodasi serta bekal permodalan agar ketika sudah mentas, para PSK bisa membuka usaha di daerahnya.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Surabaya Fatkur Rohman mengakui, langkah penutupan Dolly secara frontal tak akan menyelesaikan persoalan dan justru akan menimbulkan persoalan baru yang jauh lebih rumit dan membahayakan. Pasalnya, dikuatirkan justru akan terjadi penyebaran prostitusi yang bakal semakin sulit dideteksi.
Memang, dalam Perda No 7 Tahun 1999 sudah jelas, dilarang menggunakan bangunan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan asusila. Kalau pemkot gagal meyakinkan publik bahwa mereka betul-betul berniat menyelesaikan masalah ini, maka wajar kemudian jika ada anggapan sebagian pihak bahwa pemkot telah melegalkan prostitusi. Namun permasalahannya ternyata tidak sesederhana itu.
“Kita semua bisa jadi berkontribusi terhadap permasalahan lokalisasi di Surabaya, khususnya pemerintahan kota, karena kita membiarkan mereka tumbuh dan berkembang dan ketika sudah menjamur kemudian kita baru bersuara. Karenanya, menyelesaikan lokalisasi harus cermat, hati-hati dan integratif,” kata Fatkur.
Program-program yang selama ini sudah diimplementasikan oleh Pemkot Surabaya harus dikaji ulang efektifitasnya. Karena banyak yang melihat bahwa program-program itu sangat ego-sektoral sehingga terkesan hanya mengejar serapan anggaran APBD.
Masing-masing SKPD menggulirkan program, namun mereka tidak terkoordinasi dengan baik sehingga tidak mengarah kepada hasil yang bisa saling menguatkan. “Ada program pelatihan ketrampilan tapi kemudian juga sekedar pelatihan dan lemah dalam pendampingan, ada program penyuluhan atau pembinaan moral namun kurikulumnya terkadang tidak berbasis kebutuhan,” katanya.
Yang lain, menurut Fatkur, perlu adanya sistem yang memastikan bahwa tidak ada lagi penambahan PSK di Surabaya. “Pendataan di wilayah-wilayah lokalisasi harus dilakukan secara ketat yang juga melibatkan kelompok-kelompok masyarakat termasuk LSM. Ini perlu dilakukan karena ada indikasi bahwa aparatur pemerintah terlibat melindungi bisnis prostitusi ini, walau ini memang perlu dibuktikan,” tandasnya. (k2/uus/iks) sumber-Tribunnews.com
zonaberita.com |
Namun, menurunnya, geliat prostitusi di Dolly ternyata tidak otomatis mengurangi maraknya praktik prostitusi di Surabaya. “Para pekerja seks di sini punya kiat sendiri agar tetap bisa hidup. Kalau tidak melayani di sini, mereka bisa di-booking out (BO),” ujar salah satu mucikari Dolly, Jumat (3/6).
Lelaki yang enggan namanya disebut itu mengungkapkan, BO biasa dilakukan pelanggan yang merasa tidak nyaman lagi berkencan di kawasan Dolly. “Mereka kalau di BO, biasa melayani pelanggan di hotel-hotel. Tapi memang tidak semua pelanggan bisa BO PSK di sini. Hanya pelanggan yang loyal saja yang dilayani,” ungkapnya.
Lekaki yang sudah 20 tahun menjadi mucikari itu mengingatkan, kendati Dolly ditutup maka praktik prostitusi tetap akan ada, bahkan akan sulit terpantau. “Dengan tidak terlokalisirnya PSK, penularan penyakit kelamin bisa dengan mudah menyebar. Aturan wajib kondom dan suntik kesehatan setiap seminggu sekali, itu kan gunanya agar PSK dan pelanggannya tidak tertular penyakit. Lha, kalau prostitusi itu kemudian sampai keluar lokalisasi, siapa yang bisa bertanggung jawab terhadap kesehatan mereka?” urainya.
Bukti lain yang menunjukkan, praktik prostitusi di Surabaya tidak hanya di Dolly adalah banyaknya pengungkapan kasus prostitusi di luar Dolly dan Jarak oleh jajaran Polrestabes Surabaya. Beberapa kali polisi membongkar kasus prostitusi dan human trafficking (perdagangan manusia). “Saya tidak ingin menghubungkan fenomena ini. Namun, polisi memang sering menindak praktik prostitusi di luar (Dolly),” kata Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Anom Wibowo.
Kepolisian sendiri sudah menyiapkan metode penindakan terkait beralihnya lokasi praktik prostitusi. Dari hasil ungkap kepolisian selama ini, lokasi prostitusi ini biasa terjadi di hotel dan bahkan melibatkan PSK usia sekolah. Artinya, lokasi untuk menyalurkan syahwat bukan hanya di lokalisasi seperti Dolly dan Jarak.
Anom juga mengingatkan, umur korban prostitusi ini semakin belia. Beberapa bulan lalu, Sat Reskrim Polrestabes Surabaya membongkar prostitusi yang melibatkan 20-an pelajar SMP.
Sementara itu skenario Pemkot Surabaya mematikan pelan-pelan kawasan lokalisasi Dolly dan Jarak mulai menunjukkan hasil. Buktinya, ada beberapa wisma di Jarak yang gulung tikar alias bangkrut. Seperti salah satu wisma di daerah Putat Jaya Gang II A. Mucikari wisma ini bangkrut akibat ditinggalkan anak buahnya. Para PSK ini memilih berpindah ke wisma lain yang lebih ramai.
Informasi yang diterima Surya, bangkrutnya wisma ini terjadi sejak ada larangan masuknya PSK baru tiga tahun silam. Bagi pelanggan, hal ini membuat mereka bosan dan mencari PSK ke lokasi lain atau memilih jasa PSK panggilan.
Tono, salah satu warga Putat Jaya mengakui, saat ini umumnya pelanggan di Jarak lebih memilih karaoke atau pesta miras dibandingkan bermain seks. Itu pun dilakukan beramai-ramai (lebih dari dua orang). “Mereka umumnya hanya menyewa satu PSK untuk menemani karaoke atau minum. Satu PSK dibayar Rp 50.000 hingga Rp 300.000. Sedangkan PSK yang lain yang nggak dibooking ya tidak dapat apa-apa,” terang pria berusia 46 tahun yang mengaku sering ngobrol dengan para mucikari. Bagi PSK yang sering dibooking umumnya kerasan, tapi mereka yang tidak laku akhirnya berpindah ke lokasi lain.
Kepala Dinas Sosial Kota Surabaya Eko Hariyanto mengatakan, upaya penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak akan dilakukan secara berkesinambungan dan lintas sektoral. Upaya Kecamatan Sawahan membatasi jam buka adalah satu bagian dari rencana ini. Sementara dinas sosial sendiri saat ini sedang merintis pembinaan PSK. Sudah ada 75 PSK yang diberi pelatihan ketrampilan tata boga sejak Mei 2011 lalu. Mereka juga diberi penguatan mental dan spiritual.
Rencananya, setelah bekal keterampilannya cukup, 75 PSK ini akan dipulangkan ke daerahnya. Untuk pemulangan ini Dinsos Surabaya akan bekerjasama dengan Pemprov Jatim karena umumnya para PSK ini berasal dari luar Surabaya. Pemprov diharapkan dapat membantu akomodasi serta bekal permodalan agar ketika sudah mentas, para PSK bisa membuka usaha di daerahnya.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Surabaya Fatkur Rohman mengakui, langkah penutupan Dolly secara frontal tak akan menyelesaikan persoalan dan justru akan menimbulkan persoalan baru yang jauh lebih rumit dan membahayakan. Pasalnya, dikuatirkan justru akan terjadi penyebaran prostitusi yang bakal semakin sulit dideteksi.
Memang, dalam Perda No 7 Tahun 1999 sudah jelas, dilarang menggunakan bangunan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan asusila. Kalau pemkot gagal meyakinkan publik bahwa mereka betul-betul berniat menyelesaikan masalah ini, maka wajar kemudian jika ada anggapan sebagian pihak bahwa pemkot telah melegalkan prostitusi. Namun permasalahannya ternyata tidak sesederhana itu.
“Kita semua bisa jadi berkontribusi terhadap permasalahan lokalisasi di Surabaya, khususnya pemerintahan kota, karena kita membiarkan mereka tumbuh dan berkembang dan ketika sudah menjamur kemudian kita baru bersuara. Karenanya, menyelesaikan lokalisasi harus cermat, hati-hati dan integratif,” kata Fatkur.
Program-program yang selama ini sudah diimplementasikan oleh Pemkot Surabaya harus dikaji ulang efektifitasnya. Karena banyak yang melihat bahwa program-program itu sangat ego-sektoral sehingga terkesan hanya mengejar serapan anggaran APBD.
Masing-masing SKPD menggulirkan program, namun mereka tidak terkoordinasi dengan baik sehingga tidak mengarah kepada hasil yang bisa saling menguatkan. “Ada program pelatihan ketrampilan tapi kemudian juga sekedar pelatihan dan lemah dalam pendampingan, ada program penyuluhan atau pembinaan moral namun kurikulumnya terkadang tidak berbasis kebutuhan,” katanya.
Yang lain, menurut Fatkur, perlu adanya sistem yang memastikan bahwa tidak ada lagi penambahan PSK di Surabaya. “Pendataan di wilayah-wilayah lokalisasi harus dilakukan secara ketat yang juga melibatkan kelompok-kelompok masyarakat termasuk LSM. Ini perlu dilakukan karena ada indikasi bahwa aparatur pemerintah terlibat melindungi bisnis prostitusi ini, walau ini memang perlu dibuktikan,” tandasnya. (k2/uus/iks) sumber-Tribunnews.com
0 Leave Your Comment :
Post a Comment
Thanks you for your visit please leave your Comment