Breaking News
Loading...
Loading...
Feb 14, 2011

Quo Vadis"Umm al Dunya"

FOCUS-GLOBAL.CO.CC-SELAMA 30 tahun dalam cengkeraman rezim diktator yang korup, akhirnya “Umm al Dunya” (Ibu Dunia) - julukan Mesir - bisa tersenyum kembali. Turunnya Hosni Mubarak oleh desakan kekuatan rakyat, Jumat (11/2/2011), bakal melahirkan era baru. Tapi, mau ke mana Mesir di masa depan?

Akankah Mesir menjelma jadi negara demokratis yang independen dan lebih adil? Atau, Mesir hanya terlepas dari satu diktator untuk jatuh ke diktator lainnya? Dalam hubungan internasional, akankah Mesir lebih mandiri dan tegas bersikap terutama menyangkut isu Israel dan Palestina. Atau, Mesir akan tetap kembali mesra dengan Israel dan Amerika Serikat?

Semuanya masih dalam proses. Seperti kata Presiden AS, mundurnya Hosni Mubarak hanya awal dari sebuah transisi. "Saya yakin (setelah turunnya Mubarak, Red) akan ada hari-hari yang sulit di depan dan masih banyak pertanyaan yang belum terjawab," kata Obama.

Mundurnya Mubarak sudah tentu mencemaskan Israel, negara teangga terdekat. Seperti kata mantan Direktur Umum Kementerian Luar Negeri Israel, Alon Liel, turunnya Mubarak membuat Israel semakin terisolasi. Sebab, Mesir di bawah Mubarak menjadi partner strategis Israel di kawasan itu, terutama dalam menghadapi Palestina dan berbagai isunya. Ke depan, kemesraan itu belum tentu terjadi lagi. Apalagi jika Mesir menjadi anti-Israel.

Maka, bagi Israel, Mesir diharapkan akan tetap menjadi partner strategisnya, apa pun sistem pemerintahannya. Demikian juga bagi Amerika Serikat, Mesir diharapkan tetap menjadi negeri yang mudah diajak "kerja sama". Sebab, AS memiliki banyak kepentingan di kawasan ini. Apalagi, Mesir punya posisi strategis di Timur Tengah dan dunia Islam. Sebaliknya bagi Palestina, Mesir diharapkan berubah sikap dan lebih memihak mereka daripada Israel yang sama-sama bertetangga, setidaknya lebih obyektif dan rasional menyangkut isu kawasan tersebut.

Bagi rakyat Mesir sendiri, "Ibu Dunia" diharapkan menjadi negeri yang lebih demokratis, memberi kebebasan pers dan menyampaikan ekspresi, memberi keadilan sosial, ekonomi, politik, dan hukum. Tak ada lagi diktator. Itu kondisi yang tak mereka rasakan selama pemerintahan Mubarak. Dengan undang-undangnya, Mubarak cenderung menjadi diktator dan korup. Ia juga represif, sementara kesejahteraan tidak merata. Ia terlalu asyik membangun kerajaan ekonominya bersama kroni-kroni kapitalisnya.

Dalam tatanan hubungan luar negeri, rakyat berharap Mesir lebih gagah, punya sikap, tegas, dan adil. Itu tercermin dari keresahan dan kemuakan rakyat yang menganggap Hosni Bubarak hanya boneka Israel dan AS. Mereka berharap Mesir punya harga diri. "Tegakkan kepala, kita orang Mesir!" demikian salah satu kata-kata yang diteriakkan massa ketika memaksa Mubarak turun.

Bola sekarang berada di tangan militer yang diberi mandat untuk mengawal transisi, mengantar pemilihan parlemen dan presiden baru yang sesuai dengan amanat rakyat. Proses menuju pemilihan baru untuk mengantar Mesir ke gerbang era baru itu yang sangat penting. Sebab, di sinilah akan terjadi tarik-menarik antara banyak kekuatan dan kepentingan. Tak hanya kepentingan dalam negeri, tapi juga luar negeri. Bukan rahasia lagi, AS dan Israel bakal mencoba memengaruhi proses ke arah transisi agar Mesir di masa depan menjadi negeri yang sejalan dengan kepentingan mereka.

Tokoh senior Partai Liberal WAFD, Mahmoud Abaza mengingatkan, rakyat harus tetap waspada. "Kita harus hati-hati. Jangan sampai kita melihat kepergian diktator hanya untuk jatuh ke tangan diktator lainnya. Ini masa-masa penting buat Mesir. Bisa saja militer tetap mempertahankan ide-ide lama, meski kemungkinannya sangat kecil," katanya.

Tokoh oposisi Ayman Nour yang selama ini menentang Mubarak mengatakan kepada Al Jazeera, "Bangsa ini telah lahir kembali. Rakyatnya lahir kembali dan ini era baru Mesir."

Mesir bangga menyebut negerinya sebagai "Ibu Dunia". Mereka memiliki kebudayaan tertua. Dan, sang "Ibu Dunia" itu kini telah lahir kembali. Sebagai negeri yang terlahir kembali, dia masih "kecil" atau muda dan banyak yang penasaran akan menjadi apa Mesir dewasa nanti.

Ada kekhawatiran Mesir hanya akan berubah pemimpin, tapi akan kembali dikuasai diktator baru dengan wajah baru. Atau, setidaknya dikuasai kediktatoran baru dengan wajah dan gaya baru. Kekhawatiran ini disampaikan Brian Katulis, ahli Timur Tengah dari Center for American Progress di Washington yang juga penasihat Gedung Putih.

"Yang berpengaruh di Mesir sejak 1952 adalah orang-orang yang sama, kader-kader yang sama dari elite militer," ujarnya.

Namun, menurut tokoh Ikhwanul Muslimin yang berada di London, Kamel el-Helbawy, 80 juta penduduk Mesir ingin membangun negara baru sesuai dengan aspirasi mereka, tak peduli dengan kekuatan asing. Mereka juga lebih bersatu dalam satu tujuan, tak peduli Islam atau sekuler, yaitu membangun negara demokratis yang adil dan menghormati hak asasi manusia.

"Kediktatoran sudah menjadi masa lalu. Kami tak akan mentoleransi orang keras kepala seperti dia (Muabrak, Red) lagi," katanya.

Ya, jutaan rakyat Mesir yang turun ke jalan selama 18 hari untuk menumbangkan Mubarak memiliki satu kekuatan yang sama, yakni merindukan negara demokratis. Tokoh Ikhwanul Muslimin lain, Essam Erian, membenarkan hal itu, "Kami bersatu dalam satu tujuan, menggulingkan diktator dan membangun negara baru, yakni negara demokratis. Bola sekarang di tangan militer yang berjanji akan mengantar ke arah sana. Kami optimistis."

Optimisme sama disampaikan peraih Nobel dan tokoh oposisi, Mohamed Elbaradei, "Kami sedang menunggu bekerja sama dengan militer untuk menyiapkan pemilihan yang bebas dan jujur."

Sedangkan Ketua Partai Ghad, Ayman Nour mengatakan, "Kami sedang mengarah pada transisi yang akan membawa kami ke dalam negara sipil, negara bebas yang akan memenuhi tuntutan rakyat. Militer harus mengakomodasi arah ke sana. Saya yakin mereka tahu tugasnya."

Masa enam sampai setahun ke depan akan sangat menentukan. Militer harus mengakomodasi tuntutan rakyat dan zaman. Pendiri gerakan Kefaya, George Ishaq, juga menekankan hal itu.

"Kami butuh teknokrat untuk membentuk panitia perancang undang-undang baru, kemudian mengantar pemilihan parlemen dan presiden. Militer tahu situasi ini dan peran mereka hanya sementara," tegasnya.

Memang sempat ada kekhawatiran, militer akan kembali mengkhianati rakyat. Tapi, itu tak akan dilakukan. Sebab, pengkhianatan hanya akan melahirkan pemberontakan lebih dahsyat dan bisa membawa Mesir ke dalam chaos lebih parah. Dan, militer cukup tahu diri.

Sekjen Partai Tagammu yang beraliran kiri, Rifaat Said mengatakan, "Memang ada kekhawatiran, tapi saya kira militer tahu bagaimana bertindak dengan benar."

Militer juga langsung merespons tuntutan rakyat. Minggu (13/2/2011), mereka membubarkan parlemen dan membekukan undang-undang. Ini langkah maju menuju transisi yang lebih baik.

Arus besar sudah jelas menginginkan Mesir menjadi negara demokratis, adil, dan independen. Setidaknya babak baru Mesir memang telah dimulai.

Hanya, rakyat Mesir tak boleh lupa dan lengah. Mereka harus mengawal revolusi Mesir sampai batas tak terhingga dari sepak terjang segala kepentingan yang tak sejalan dengan cita-cita revolusi.

Indonesia menjadi contoh menarik. Reformasi 1998 kemudian seolah kurang pengawalan ketat dari kekuatan-kekuatan rakyat. Dalam 12 tahun perjalanannya, ternyata masih banyak hal yang tak memuaskan. Beberapa agenda reformasi berjalan lamban. Korupsi masih menggejala, ketegasan hukum masih lemah, rasa aman rakyat menipis, pemerataan ekonomi lamban. Bahkan, orang-orang dan kader-kader lama yang identik dengan rezim lama masih banyak bermain dengan berubah wajah dan penampilan, meski membawa kepentingan lama.

Mesir kini memang telah terlahir kembali. Namun, sang "Ibu Dunia" ini masih tetap harus dirawat pertumbuhan dan perkembangannya, agar menjadi dewasa seperti kehendak rakyat.
Quo vadis, Mesir? Hanya rakyat Mesir yang bisa menentukan arahnya.
(Hery Prasetyo dari Berbagai Sumber)


0 Leave Your Comment :

Post a Comment

Thanks you for your visit please leave your Comment

Back To Top