Martha Christina Si Pemberani dari Timur
Perempuan pada masa prakemerdekaan kerap dipersamakan dengan dapur dan mengurus anak.Namun Martha Christina Tiahahu, perempuan pejuang Maluku, membuktikan bahwa tidak selamanya kaum wanita hanya bisa bekerja di dapur dan mengurus anak.
Ia adalah sedikit dari perempuan Indonesia yang dalam hidupnya berperan sejajar dengan kaum pria, bahkan dalam urusan membela bangsa dan negara.
Martha Christina Tiahahu, lahir pada 1800, di suatu desa bernama Abubu di Pulau Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah. Ia lahir dari keluarga Tiahahu dari kelompok Soa Uluputi.
Soa dalam bahasa Maluku berarti kelompok yang membagi masyarakat berdasarkan marganya sebagai identitas asal-usul keluarga.
Martha adalah wanita pemberani yang mengangkat tombak untuk melawan Belanda.
Seperti yang dituturkan oleh ahli warisnya, Merry Lekahena (58), berdasarkan kisah turun-temurun yang diceritakan oleh orang tuanya, Martha dibesarkan oleh ayahnya yang merupakan seorang pemimpin perang, karena ibunya meninggal saat ia masih belia.
Martha kecil terkenal berkemauan keras dan pemberani. Ia selalu mengikuti kemanapun ayahnya pergi, termasuk menghadiri rapat perencanaan perang, sehingga dirinya terbiasa turut mengatur pertempuran dan membuat kubu-kubu pertahanan.
"Kemampuan, sikap keras kepala dan tekad yang kuat yang membuatnya sejajar dengan laki-laki. Ia bahkan tidak mau meminta pengampunan Belanda terhadap ayahnya, meskipun ia sedih sekali," kata Lekahena.
Martha Chistina dan ayahnya Paulus Tiahahu bersama-sama dengan Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura berhasil menggempur kependudukan tentara kolonial yang bercokol di Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah.
"Mereka berhasil membumi hanguskan Benteng Duurstede," ujar Lekahena menjelaskan.
Namun dalam pertempuran sengit di Desa Ouw-Ullath, sebelah Tenggara Pulau Saparua pasukan rakyat kalah akibat ketidak seimbangan persenjataan, tipu muslihat penjajah dan adanya penghianatan.
Banyak pejuang yang ditawan dan harus menjalani berbagai hukuman, salah satunya adalah ayahandanya yang dihukum tembak mati.
Meski demikian, Martha Christina terus bergerilya bersama tentara rakyat yang tersisa dan akhirnya ia pun tertangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa.
Menjadi tawanan tidak membuatnya jera, ia tetap bersikap keras kepala dengan melakukan aksi mogok makan dan jatuh sakit.
Martha Christina menemui ajalnya di atas kapal perang Eversten milik Belanda dan jasadnya diluncurkan di Laut Banda dengan penghormatan militer pada 2 Januari 1818.
Pahlawan Nasional
Kendati berjuang menggempur musuh bersama pasukan ayahnya, namun Martha Christina yang memulai perang pertamanya ketika berusia 17 tahun dan hanya mengandalkan sebatang tombak itu, tetap bergaya layaknya perempuan dengan rambut terurai serta ikat kepala berwarna merah.
Tidak hanya gagah berani, Srikandi Maluku itu juga memberi semangat kepada para wanita di berbagai desa di Maluku agar ikut angkat senjata bersama kaum pria melawan kependudukan tentara kolonial.
Untuk menghargai jasa-jasa dan pengorbanannya, oleh Pemerintah Republik Indonesia, Martha Christina Tiahahu dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan tanggal 2 Januari menjadi Hari Martha Christina.
Monumennya pun dibangun menghadap ke laut Banda di desa kelahirannya yang diresmikan oleh Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu pada 2 Januari 2008 dalam peringatan Hari Martha Christina yang ke-190 tahun.
Sedangkan di Ambon, monumen Martha Christina tegar berdiri dengan sebatang tombak di tangan Bukit Karang Panjang menghadap ke Teluk Ambon, seakan-akan menyiratkan tekadnya menjaga keutuhan Maluku sebagai daerah kaya berbagai potensi sumber daya alam sebagai bagian kekuatan masa depan untuk kesejahteraan masyarakat.
Oleh Syarivah Alaidrus
Sumber Berita Kompas.com
0 Leave Your Comment :
Post a Comment
Thanks you for your visit please leave your Comment