Breaking News
Loading...
Loading...

Socialmedia

Seputar Kabar Artis

Sorot

HEADLINEWS

Showing posts with label Praktek Aborsi. Show all posts
Showing posts with label Praktek Aborsi. Show all posts
May 30, 2012
Ini Dia Alasan Perempuan Lakukan Aborsi

Ini Dia Alasan Perempuan Lakukan Aborsi

Praktek Aborsi, Kehamilan yang tidak diinginkan adalah penyebab perempuan ingin lakukan aborsi. Tidak selalu karena belum menikah, data studi yang dilakukan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan yang ingin aborsi justru yang sudah menikah. Berikut alasannya.

"Data studi PKBI di 12 kota dari tahun 2000-2011 menunjukkan bahwa 73-83 persen wanita yang ingin aborsi adalah wanita menikah karena kegagalan kontrasepsi. Aborsi pada remaja bahkan tidak sampai 20 persen," ujar Inne Silviane, Direktur Eksekutif PKBI Pusat, saat dihubungi detikHealth, Rabu (30/5/2012).

Hal ini yang disayangkan Inne, karena menurutnya yang berkeinginan untuk terminasi atau aborsi justru kebanyakan adalah ibu-ibu menikah yang merasa tidak siap untuk memiliki anak lagi.

Pada kenyataannya, jika membahas soal aborsi remaja selalu saja disalahkan dan dibelokkan seolah-olah hanya dilakukan karena perilaku seks bebas.

"Menurut hasil studi kami, remaja bahkan tidak sampai 20 persen, tapi selalu dibelokkan dan disudutkan seolah-olah hanya remaja. Bukan mau membela tetapi kenyataannya memang kebanyakan adalah wanita menikah," lanjut Inne.

Dari data tersebut, berikut alasan mengapa perempuan ingin lakukan aborsi:

1. Terlalu banyak anak
"Yang berkeinginan untuk aborsi justru yang sudah menikah karena sudah punya banyak anak. Yang anaknya banyak ini yang kita perjuangkan. Kita akan memberikan konseling terlebih dahulu agar si ibu mengerti dan tidak mencoba-coba aborsi yang tidak aman," jelas Inne.

2. Anak masih kecil
Wanita menikah juga banyak yang ingin menggugurkan kandungan karena alasan anak masih kecil. Hal ini biasanya terjadi karena alat kontrasepsi gagal berfungsi sehingga menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan.

3. Hamil di umur yang terlalu tua
Kehamilan di usia tua sebenarnya dapat membahayakan nyawa si ibu, bahkan kondisi ini turut menyumbang tingginya angka kematian ibu. Terlebih lagi bila ibu yang usianya sudah tidak muda ingin melakukan aborsi dengan cara yang tidak aman.

4. Tidak siap jadi ibu
Hal ini biasanya disebabkan karena kurangnya informasi yang didapatkan oleh remaja. Banyak remaja yang masih menganggap bahwa melakukan hubungan seksual pertama kali tidak dapat menyebabkan kehamilan. Akhirnya ketika kehamilan yang tidak diinginkan terjadi, ia tidak siap untuk menjadi ibu.

5. Masih sekolah
"Sebenarnya menurut studi kami remaja itu tidak sampai 20 persen. Ada yang alasannya karena masih sekolah, tapi tidak terlalu banyak dibandingkan dengan wanita menikah yang karena kegagalan konstrasepsi," jelas Inne.

6. Mementingkan karir
Terkadang karir juga menjadi alasan wanita menggugurkan kandungan. Meski jumlahnya tidak terlalu banyak, tetapi alasan terikat kontrak kerja, tidak ingin disibukkan dengan anak atau ingin meraih karir yang tinggi juga menjadi alasan wanita melakukan aborsi. sumber


Follow Our Twitters
Kisah Pengakuan Seorang Gadis yang Lakukan Aborsi 2 Kali

Kisah Pengakuan Seorang Gadis yang Lakukan Aborsi 2 Kali

Aborsi, Pengalaman 2 kali melakukan aborsi telah menyisakan trauma mendalam bagi perempuan ini. Mulai dari proses evakuasi yang menegangkan saat menuju klinik aborsi dengan mata tertutup, hingga melihat gumpalan daging keluar dari rahimnya.

Sari (bukan nama sebenarnya), seorang perempuan lajang yang bekerja di sebuah kota di Pulau Jawa berkenan menceritakan pengalamannya menggugurkan kandungan semasa remaja. Ia berharap kisahnya tersebut bisa menjadi inspirasi bagi orang lain agar tidak ada lagi yang terjebak dalam kesalahan yang sama.

Berikut ini kisahnya seperti dituturkan Sari saat dihubungi detikHealth, Selasa malam (29/5/2012).

Umur saya baru 17 tahun saat baru awal-awal kuliah, ketika pertama kali saya menyadari menstruasi saya sudah terlambat 1 bulan. Kurang lebih itu 6-7 tahun yang lalu. Hasil testpack menunjukkan bahwa saya positif hamil, dan itu berarti usia kandungannya sudah sekitar 6-7 minggu kalau dihitung dari kemungkinan saya dibuahi. Orang pertama yang tahu adalah pacar saya, karena kami membaca testpack bersama-sama.

Sebenarnya pacar saya ingin kehamilan itu dilanjutkan dan dia pun mengajak saya menikah. Tapi bagi saya saat itu, menikah bukan solusi dan tidak akan pernah menjadi jalan keluar dari masalah apapun juga. Saya tidak ingin melanjutkan kehamilan ini. Akhirnya pilihan untuk melakukan induksi haid --saya kurang suka istilah aborsi-- adalah murni keputusan saya sendiri, tidak ada paksaan dari siapapun.

Saya pun mendatangi sebuah klinik terpercaya dengan dibantu oleh rekan yang kebetulan juga pernah melakukan induksi haid. Kondisinya agak berbeda karena dulu rekan saya itu melakukannya dengan status sudah menikah, sehingga urusannya jauh lebih mudah karena bisa menggunakan alasan medis walaupun itu juga cuma dibuat-buat.

Yang jelas urusan saya lebih ribet, karena saya belum menikah dan pada akhirnya saya harus berbohong pada konselornya. Saya bilang bahwa saya terpaksa harus melakukan induksi haid karena ditinggal pergi pacar saya.

Konselor di klinik tersebut sepertinya tidak berusaha menelisik kebenaran pengakuan saya maupun mengubah keputusan saya, mungkin karena melihat tekad saya sudah bulat. Ia cuma memastikan kondisi saya baik-baik saja dan sudah paham konsekuensinya, serta berulang-ulang menegaskan agar kesalahan ini tidak terulang lagi. Saya iyakan saja biar urusannya cepat selesai.

Akhirnya beberapa hari kemudian saya dikuret, dengan total biaya mencapai Rp 1,8 juta. Beberapa minggu berikutnya, saya kontrol lagi dan dipastikan saya baik-baik saja. Secara fisik baik-baik saja, tetapi secara mental masih tetap menyesali kenapa harus hamil.

Saya tahu dari pelajaran biologi di SMA bahwa hubungan seks bisa menyebabkan kehamilan, tetapi sedikitpun tidak terbayang bahwa kehamilan itu akan terjadi pada saya sendiri di usia sedini itu. Bagian itu yang paling saya sesali, lebih saya sesali daripada induksi haidnya itu sendiri.

Di sisi lain, pacar saya juga tidak lebih cerdas. Ia masih percaya mitos-mitos, termasuk menyuruh saya untuk pipis setelah berhubungan seks agar tidak hamil. Bukti bahwa untuk urusan seks, kami berdua sama sekali tidak tercerahkan dengan pelajaran biologi saja.

Lalu kehamilan berikutnya terjadi lagi 1-2 tahun kemudian saat umur 20 tahundengan pacar saya itu. Saya tidak ingat persis jarak waktunya, but it was terribly wrong! Even donkey won't fall on the same hole! Pada titik ini saya merasa bego, mengaku banyak membaca tetapi kelakuannya tidak konsisten dan sangat kompulsif. Mau enaknya saja.

Kali ini saya benar-benar tidak berani, terlalu malu untuk datang ke klinik itu lagi. Untungnya karena ini kehamilan kedua, secara mental saya sudah bisa lebih tenang, secara fisik tubuh saya juga lebih kuat dan tidak dibebani oleh ngidam atau segala macam seperti halnya pada kehamilan pertama. Kami pun coba-coba menghubungi layanan terlambat haid yang diiklankan di koran-koran.

Sambil terus mencari, seorang teman menyarankan agar saya minum obat peluruh haid. Saya coba minum obat bermerek 'C' tersebut dan memang muncul flek dalam beberapa hari berikutnya. Tapi karena sepertinya tidak tuntas, saya makin mantap untuk mencari layanan induksi haid. Pertimbangan saya waktu itu, kalaupun kehamilan ini mau dilanjutkan maka anak saya pasti cacat karena saya sudah berusaha menggugurkannya dengan obat.

Akhirnya kami menemukan seseorang yang bisa melakukan induksi haid, dan inilah bagian yang paling menegangkan. Orang tersebut menyuruh kami datang ke sebuah tempat dan dia akan menjemput naik mobil. Di tempat yang ditentukan, rupanya sudah ada pasangan lain yang juga menunggu dijemput. Yang perempuan tampak tegang, lalu naluri saya menggerakkan agar kami berdua berpegangan tangan dan saling menguatkan.

Suasana makin mencekam ketika mobil jemputan datang, sebab kami diminta untuk memakai penutup mata. Laki-laki tidak boleh ikut, hanya kami para perempuan yang diangkut dengan mobil. Entah kenapa kami menurut, lalu dengan mata tertutup kami menempuh perjalanan selama kurang lebih 1,5 jam.

Kami berdua tidak tahu sedang berada di mana saat mata kami dibuka, yang jelas di situ ada seorang perempuan yang mengaku sebagai bidan. Dia mengatakan bahwa prosedur yang akan ia lakukan berbeda dengan kuret yakni dengan membuat pecah ketuban dengan minum obat, sehingga kandungan akan luruh secara alami. Biayanya sebesar Rp 3,5 juta dibayar saat itu juga, lalu kami pulang dengan dibekali obat.

Malam harinya perut saya luar biasa sakit, sesuai kata bidan tadi bahwa akan terasa sakit seperti mau melahirkan. Saya pun mengikuti sarannya untuk buru-buru ke kamar mandi, dan yang keluar pertama kali adalah ari-ari! Seperti tersangkut tetapi saya tidak berani menariknya keluar. Tak lama kemudian keluar bulatan bening, semacam daging yang saking kecilnya langsung masuk toilet. Bagian inilah yang paling membuat saya trauma kalau ingat.. (menangis).

Secara psikologis saya juga makin terbebani karena tindakan induksi haid yang kedua ini saya lakukan secara diam-diam, tanpa didampingi konselor. Kesembunyi-sembunyian ini yang seolah makin menegaskan pada diri saya sendiri bahwa tindakan ini salah.

Belum habis siksa batin yang harus saya alami. Jika seusai induksi haid pada kehamilan yang pertama saya melakukan kontrol di klinik yang sama, kali ini si bidan tidak menawari kontrol dan kalaupun ditawari saya juga tidak tahu tempatnya karena waktu itu saya datang dan pergi lagi dengan mata tetutup.

Akhirnya saya berinisiatif kontrol sendiri ke seorang dokter kandungan yang cukup senior, tampak dari gelar profesor yang melekat di depan namanya. Sayang kepintaran sang profesor tidak membuatnya lebih punya empati. Kepada saya yang datang dalam kondisi kalut, ketakutan karena jangan-jangan induksi haidnya tidak tuntas, profesor brengsek itu malah menunjukkan sikap menghakimi dan membuat mental saya makin berantakan. Dia bilang, "Kamu itu berdosa, salah. Rahim kamu berlipat. Cepatlah menikah nanti tidak ada lagi yang mau sama kamu."

Pak profesor bahkan tidak menjelaskan kondisi saya yang sebenarnya. Apa itu rahim berlipat? Dari dokter kandungan lain yang lebih ramah, barulah saya tahu bahwa lipatan itu adalah kista. Menurut dokter saya yang kedua ini, memang ada kemungkinan kista akan mengecil jika seorang perempuan hamil dan punya anak.

Sang gadis yang kini berusia 27 tahun itu mengaku sesekali masih mengalami trauma jika ingat dengan kejadian itu. Dengan mental yang sempat drop, ia berhasil menamatkan kuliahnya hingga bisa bekerja.

Penyesalan yang dalam terus menggelayut di hidupnya. Hingga kini keluarganya tak pernah tahu bahwa sang gadis pernah melakukan aborsi. Si gadis yang dari keluarga baik-baik ini juga terlihat dari luar sangat normal pergaulannya.

Penampilannya juga tidak menunjukkan si gadis salah pergaulan tapi 'kecelakaan' yang dialaminya murni karena ketidaktahuannya tentang seks yang aman dan bertanggungjawab.

Kini ia mengaku bisa hidup normal, tidak takut hamil dan siap punya anak jika menikah nanti.
(up/ir) sumber



Follow Our Twitters
Back To Top