Hai, perkenalkan namaku Erina. Usiaku sekarang 18 tahun.
Teman-temanku sering memuji wajahku yang bulat dan manis dengan rambutku
yang hitam sebahu yang menurut mereka amat serasi dengan bentuk
wajahku.
Tubuhku yang mungil dengan tinggi 152 cm, memberi kesan imut
yang sering menjadi daya tarik tersendiri bagi teman-temanku. Aku
merupakan seorang mahasiswi keturunan Chinese dari Medan yang bisa
tergolong sebagai pendatang baru di Jakarta. Aku merantau ke Jakarta
sendirian untuk melanjutkan pendidikanku di sebuah universitas swasta di
Jakarta Barat. Sehari-harinya aku bekerja sebagai guru les privat yang
mengajar anak-anak sekolah yang pada umumnya adalah anak-anak SMP atau
SD.
Aku melakukan ini untuk membiayai uang kuliah dan segala
keperluanku. Maklumlah, sebagai pendatang baru di kota besar seperti
Jakarta, aku harus bisa membiayai segala keperluanku sendiri. Apalagi
keluargaku yang berasal dari daerah juga bukan tergolong keluarga yang
cukup mampu untuk membiayaiku, maka aku memutuskan untuk mandiri sendiri
di perantauanku.
Suatu hari, aku mendapat panggilan dari sebuah keluarga yang ingin
agar aku mengajar les anak tunggal mereka. Mereka menawarkan gaji yang
bagiku amat tinggi dan kurasa cukup untuk membiayai kehidupanku di
Jakarta. Tanpa pikir panjang lagi, segera kuterima tawaran keluarga itu,
dan kami setuju bahwa aku akan mulai mengajar anak mereka besok sore
harinya sepulang kuliah.
Esok harinya, aku pun datang untuk mulai mengajar murid baruku itu.
Sesampainya di rumah itu, aku tertegun melihat arsitektur rumah itu yang
seperti sebuah istana yang dilengkapi taman hijau dan dikelilingi pagar
terali yang tinggi. Dibandingkan dengan rumahku di daerah yang hanya ¼
luas rumah itu, apalagi tempat kosku yang kecil dan sumpek, tentu saja
memiliki rumah seperti ini sudah menjadi impianku sejak kecil.
DING-DONG!! Kutekan bel pintu di sebelah pagar rumah itu.
“Siapa?” terdengar suara wanita di Interkom yang terletak di samping bel pintu itu.
“Saya Erina, guru les privat anak anda yang baru!” jawabku
“Oh, Erina! Ayo, silakan masuk!”
Tiba-tiba, gerbang terali rumah itu terbuka. Aku pun segera masuk
kedalam. Pintu garasi itu terbuka dan keluarlah seorang wanita paruh
baya, usianya sekitar 40-an tahun. Dari penampilannya yang necis seperti
seorang business-woman, sudah jelas bahwa ia adalah pemilik rumah ini.
Wanita itu segera menyambut kedatanganku.
“Halo, Erina! Bagaimana kabarnya?”
“Baik-baik saja bu. Anda Bu Diana? Ibu Rendy?” tanyaku dengan sopan.
“Ya, betul! Ayo masuk, kita bicara didalam!” ujarnya mempersilahkanku masuk
Sambil menuju ke ruang tamu, kami berbincang-bincang sejenak. Dari
situ aku tahu bahwa bu Diana adalah pemilik Bridal Studio ternama di
Jakarta sekaligus seorang desainer gaun pengantin yang sering pergi ke
luar negeri untuk melihat pameran-pameran di luar negeri. Bahkan, di
rumahnya banyak terpajang piala penghargaan bagi desainer di pameran
luar negeri. Sementara suaminya adalah kepala cabang sebuah bank
multinasional yang saat ini tinggal di Jerman. Maka ia hanya tinggal
berdua saja dengan anaknya di rumah itu. Seringkali anaknya dititipkan
ke kerabatnya apabila bu Diana hendak pergi ke luar negeri.
Aku pun dipersilahkan untuk menunggu di ruang tamu sementara bu Diana
mengambilkan minuman untukku. Aku hanya terpaku melihat hiasan-hiasan
indah di rumah itu. Rasa-rasanya, harga salah satu hiasan patung ataupun
lukisan itu cukup untuk membiayai uang kuliahku untuk satu semester.
“Hayo, kok malah melamun?” aku dikagetkan oleh suara bu Diana yang segera menyajikan segelas es sirop untukku.
“Eh… tidak… maaf, Bu!” aku tergagap salah tingkah, namun bu Diana hanya
tersenyum melihatku. Bu Diana segera duduk di sofa ruang tamu didepanku.
“Nah, Erina. Kamu akan mengajar Rendy mulai hari ini. Ibu harap kamu bisa memperbaiki nilai-nilainya di sekolah.”
“Baik bu. Saya akan berusaha sebaik mungkin.”
“Saya senang melihat semangatmu. Tapi apa kamu tahan menghadapi anak-anak nakal?”
“Memangnya ada apa, bu?” tanyaku penasaran
“Rendy sekarang duduk di kelas 2 SMP, usianya tahun ini 14 tahun. Kamu
tahu, itu masa yang rawan bagi anak remaja. Nilai Rendy terus menurun,
ia lebih sering menghabiskan waktunya buat bermain atau menonton di
kamarnya.” Bu Diana tampak menghela napas.
“Tenang saja, bu. Saya akan berusaha untuk membuatnya belajar. Saya yakin, nilai Rendy pasti akan segera membaik.”
“Bagus. Kinerjamu akan dinilai lewat nilai-nilai ujian semester mereka Juni ini.”
“Berarti, 5 bulan dari sekarang?”
“Benar. Tunggu sebentar ya, Erina? Ibu akan memanggil Rendy dulu.”
Aku mengangguk menyetujui. Bu Diana lalu beranjak pergi ke lantai
atas. Tak lama kemudian, Bu Diana turun beserta seorang anak laki-laki.
Wajah anak itu cukup tampan, menurutku. Tubuhnya juga tampak besar untuk
anak seusianya, bahkan lebih tinggi dariku. Tapi mukanya tampak masam
saat melihatku yang duduk dihadapannya.
“Ayo, beri salam ke Kak Erina! Mulai hari ini dia yang akan menjadi guru privatmu!”
“Rendy.” Anak itu tampak acuh dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman denganku.
“Erina, salam kenal!” Aku berusaha tersenyum sambil membalas uluran tangannya.
“Baiklah, ayo antar kak Erina ke kamarmu dan mulai belajar!” perintah
bu Diana, yang hanya dijawab oleh gerutuan dari Rendy. Aku tersenyum
dan mengikuti Rendy ke kamarnya. Sejak hari itu, aku mulai mengajari
Rendy sebagai guru privatnya.
Hari demi hari berlalu. Tidak terasa, sudah 3 bulan berlalu sejak
hari itu. Tiap hari Senin hingga Jumat sore, aku terus mengajari Rendy
sebagai guru privatnya secara rutin. Lama-lama aku pun semakin mengenal
Rendy. Rendy sering bergaul dengan teman-temannya, namun sayangnya Rendy
salah memilih pergaulan. Ia bergaul dengan anak-anak nakal di
sekolahnya. Aku pernah melihat teman-temannya yang nakal itu, mereka
selalu saja mengajak Rendy untuk membolos saat aku mengajar, yang
seringkali dituruti olehnya, belum lagi sikap mereka yang menurutku
tidak sopan maupun cara mereka bergaul yang lebih condong ke arah
pergaulan bebas.
Aku selalu bersabar mengajari Rendy, tapi anak itu benar-benar
bandel. Setiap kali aku mengajarinya, ia hanya mengacuhkanku ataupun
bengong melamun. Semua tugas yang kuminta untuk dikerjakan tidak pernah
disentuhnya sama sekali. Parahnya lagi, tidak jarang kulihat kepingan
DVD porno yang disembunyikannya di bawah kasurnya. Aku tidak pernah
menghiraukan hal itu, karena tugasku di sini adalah untuk mengajarinya
bahan pelajaran, bukan untuk menceramahinya. Mungkin karena pengaruh DVD
itu dan pergaulannya, dia juga sering menggodaku untuk menjadi
pacarnya. Aku memang masih single, tapi pacaran dengan anak dibawah
umur? Tak pernah sama sekali terlintas di benakku untuk melakukan hal
itu, apalagi Rendy adalah muridku.
Sering aku nyaris kehilangan kesabaran karena ulah Rendy, namun aku
selalu teringat akan janjiku pada bu Diana untuk memperbaiki nilai Rendy
dan mengingat biaya yang dikeluarkan bu Diana untuk membayarku, sudah
cukup untuk membuatku selalu tegar menghadapi kebandelan Rendy.
Namun seberapapun aku berusaha menahan kesabaranku, rupanya kesabaran
bu Diana mulai habis. Suatu hari, ia memanggilku saat aku mengajar
Rendy.
“Erina, saya pikir kamu sudah tahu kalau nilai Rendy selama ini sama sekali tidak membaik.” Ujarnya agak keras
“Maaf, bu. Saya sudah berusaha, tapi Rendy…”
“Saya tidak mau mendengar alasan, Erina. Kamu tahu berapa gajimu setiap
bulan bukan? Saya berharap pengeluaran itu setimpal dengan hasil yang
kamu berikan. Tapi kalau begini hasilnya, saya benar-benar kecewa…”
ujarnya dengan nada agak ketus
“Tapi…”
“Begini saja. Saya akan tetap berpegang pada janji saya untuk menilaimu
lewat hasil Rendy pada semester ini. Kalau nilainya masih juga belum
membaik, saya terpaksa mencari pembimbing yang lebih mampu.”
“Tapi bu…” aku berusaha memberi argumen dengan Bu Diana.
“Sudahlah Erina, saya harus pergi ke studio sekarang! Saya harap, kamu
bisa memperbaiki nilai Rendy secepat mungkin!” tegas bu Diana sambil
berlalu pergi keluar dari rumahnya.
Kata-kata bu Diana benar-benar membuatku mulai patah arang. Bagaimana
cara menggerakkan anak sebandel itu untuk belajar? Yang kutahu ia hanya
tertarik dengan game PlayStation dan koleksi film miliknya, baginya
memegang buku pelajaran pasti lebih susah daripada berenang melintasi
samudra! Rasa putus asa menyelimutiku saat aku membayangkan bagaimana
membiayai kuliahku apabila bu Diana meberhentikanku.
Dengan lesu, aku kembali ke kamar Rendy untuk mengajar. Namun,
sesampainya di kamar, aku melihatnya tertawa terbahak-bahak saat aku
memasuki kamarnya.
“Apa yang lucu?!” ketusku dengan muka masam.
“Mau dipecat ya, Kak? Kasihaan deeeh!” ejeknya sambil tertawa.
Mendengar ejekan Rendy sudah lebih dari cukup untuk membuat amarahku yang sudah lama terpendam, meledak seketika.
“Kamu maunya apa sih?! Kakak sudah memberimu penjelasan dan
latihan-latihan, tapi sama sekali tak digubris!! Bagaimana nilaimu bisa
bagus kalau kamu tidak pernah belajar!! Setiap hari yang kamu tahu cuma
main game atau bengong saja!!” bentakku pada Rendy. Aku benar-benar
merasa marah dan dipermainkan oleh anak itu. Tapi Rendy hanya tersenyum
mendengar bentakanku itu.
“Oke deh, kalau Kakak maunya begitu. Rendy akan minta Mami untuk
mencari guru baru. Kakak cari saja murid yang mau menurut!!” Ujarnya
dengan sombong.
Seketika itu juga aku ambruk ke lantai, air mataku menetes karena
putus asa. Aku sudah harus membayar biaya kuliahku bulan depan yang
rencananya akan kubayar dengan gajiku bulan ini. Apabila aku
diberhentikan sekarang, bagaimana caraku untuk membayar uang itu? Tidak
mungkin meminta kiriman uang dari keluargaku, aku tidak memiliki kerabat
di Jakarta dan lagipula mana mungkin teman-temanku mau meminjamkan uang
untuk mahasiswi miskin sepertiku ini? Sebenarnya banyak mahasiswa yang
tertarik padaku dan mau menjadi pacarku. Bisa saja aku meminjam uang
dari mereka, namun aku tak mau kalau harus berhutang budi pada mereka,
bisa saja itu menjadi alasan mereka untuk memaksaku menjadi pacar
mereka.
Pikiran bahwa aku harus berhenti kuliah membuatku galau dan putus asa. Aku pun menangis terisak di hadapan Rendy.
“Waah, malah nangis… Dasar cengeng!” ejek Rendy saat melihatku menangis, namun itu tidak menghentikan isak tangisku.
“Oke, oke. Aku mau belajar, tapi kakak harus menuruti permintaanku, Oke?!” Rendy mulai membujukku.
“A…apa yang kamu mau?!” jawabku sambil terisak.
“Pertama, kakak berdiri dulu ya?” Rendy memegang tanganku dan
membantuku berdiri. Aku pun segera beranjak bangun. Kulihat mata Rendy
tampak menggerayangi lekuk tubuhku. Ia lalu berjalan berputar-putar
mengelilingiku. Aku pun mulai risau melihat gelagat anak itu.
“Sudah! Jangan putar-putar melulu! Kepala kakak pusing tahu!! Kamu maunya apa sih?!” bentakku tidak sabaran.
“Kak, Rendy penasaran deh…” ungkap Rendy.
“Apanya?!”
“Kakak itu cewek kan?”
“Lalu kenapa? Bukannya sudah jelas kan?!” jawabku kesal.
“Kalau begitu, kakak punya memek juga doong…” balas Rendy dengan nada mengejek.
“Rendy penasaran nih… Memek kakak mirip nggak ya, dengan memek
cewek-cewek yang sering kulihat di film-film porno?” sambungnya dengan
santai.
Oh, astaga! Bagai tersambar petir, aku benar-benar marah mendengar
ucapan Rendy itu. Moral anak ini benar-benar sudah hancur sama sekali!!
Bagaimana bisa dia menanyakan hal seperti itu didepan seorang gadis
dengan santainya? Anak ini benar-benar sudah kelewat batas!
PLAAK… Tanpa sadar kutampar pipi kiri Rendy hingga anak itu terjatuh ke lantai. Rendy pun merintih kesakitan.
“Aduh, sakiit…” rintihnya pelan.
Ya ampun! Apa yang telah kulakukan? Sesaat aku sontak tersadar, namun
sudah terlambat. Tamparanku sudah keburu mendarat di pipi Rendy. Melihat
Rendy yang terjatuh, aku pun merasa semakin panik. Segera kuhampiri
Rendy yang masih merintih di lantai.
“Rendy, Rendy! Kamu nggak apa-apa kan?! Maaf ya, kakak tak sengaja. Maaf…” tanyaku cemas.
Aku berusaha menggenggam tangan Rendy, namun ia segera menepis tanganku.
“Pergi sana! Rendy akan laporkan kakak ke Mami!! Biar nanti kakak dituntut ke polisi!!” teriaknya.
“Rendy… Kakak minta maaf ya? Kakak benar-benar tak sengaja…” aku
benar-benar panik mendengar ancaman Rendy, yang sangat mungkin menjadi
kenyataan mengingat keluarganya yang cukup terpandang.
“Nggak mau! Pergi sana!! Tunggu saja sampai Mami pulang, Kakak pasti
kulaporkan!” ancam Rendy sekali lagi. Rendy segera beranjak, hendak
keluar dari kamarnya.
Aku benar-benar putus asa dan kebingungan. Masalah yang datang
menghampiriku silih berganti. Bagaimana ini? Sebelumnya, ancaman
pemecatanku sudah diambang mata dan sekarang malah aku terancam dituntut
oleh keluarga kaya ini. Pikiranku pun mulai buntu dan tanpa pikir
panjang lagi, kutarik tangan Rendy untuk mencegahnya keluar kamar.
“Tunggu Rendy!! Kakak akan menuruti permintaan Rendy! Apapun! Tapi
tolong jangan laporkan kakak ke bu Diana!” bujukku pada Rendy.
Langkah kaki Rendy terhenti sebentar. Rendy lalu melirik melihatku.
“Benar nih? Kakak nggak bohong kan?” tanyanya tidak percaya.
“Iya, iya! Kakak janji! Tapi cuma sekali ini saja ya!” jawabku putus asa.
“Oke deh kalau begitu. Rendy mau lihat memek kakak sekarang.” Perintahnya padaku.
“Tapi cuma lihat saja ya! Jangan macam-macam!”
“Iya, deeh…” jawab Rendy puas.
Aku lalu berdiri didepan Rendy, perlahan-lahan kunaikkan rok putihku
yang selutut dihadapan anak itu. hingga akhirnya rokku mencapai pinggul,
menampakkan pahaku dan celana dalam pink berendaku dengan jelas. Rendy
tampak takjub saat melihat celana dalamku yang masih menutupi
selangkanganku.
“Tunggu Kak! Jangan bergerak dulu!” perintah Rendy mendadak. Aku pun
tak punya pilihan lain selain memamerkan celana dalamku dihadapan Rendy.
Perasaanku campur aduk saat melihat mata Rendy yang tampak
berbinar-binar takjub melihat celana dalamku. Aku pun bisa mendengarnya
menelan ludah. Pasti ini pengalaman pertamanya melihat celana dalam
seorang gadis yang asli. Kurasa selama ini dia hanya melihat celana
dalam wanita lewat film pornonya saja.
Ia tampak gugup sekaligus senang melihat celana dalamku. Sementara
jantungku berdegup kencang sekali saat mengingat seorang anak kecil
sedang mengamati celana dalamku dengan
seksama. Wajahku sekarang pasti
sudah lebih merah dari buah tomat yang matang karena malu.
Rendy menoleh sejenak ke belakang sambil menghela nafas. Kurasa ia
juga amat gugup karena dari tadi mengamati celana dalamku tepat didepan
wajahnya. Tapi, ia segera kembali menoleh melihat celana dalamku dan
kali ini kulihat sorot matanya yang secara khusus mengamati bayangan
vaginaku dibalik celana dalamku. Sorot matanya yang mengamati dengan
seksama memberiku sensasi yang aneh. Belum pernah kulihat sorot matanya
seserius itu.
Semakin lama, kepalanya semakin maju hingga memasuki rokku dan
tampaknya ia benar-benar menikmati saat mengamati celana dalamku. Aku
dapat merasakan dengan sangat jelas detak jantungku yang berdegup
semakin kencang. Aku merasa bingung mengapa jantungku bisa berdetak
sekencang itu hanya karena Rendy sedang mengamati celana dalamku? Aduuh…
andai saja aku tidak menamparnya tadi, sesalku dalam hati.
“Rendy, sudah ya… Kakak sudah capek nih…” bujukku pada Rendy.
“Belum kak. Kakak masih belum menepati janji kakak!” protesnya padaku.
“Apa lagi, sih, Rendy?!”
“Aku mau melihat memek kakak! Bukannya tadi kakak berjanji untuk
menuruti keinginanku? Ayo, buka celana dalamnya dong kak!” pintanya
padaku.
“Tapi… tapi…” aku berusaha mencari alasan untuk menolak permintaan
Rendy, namun pikiranku buntu sama sekali. Memang benar tadi Rendy sempat
berkata bahwa ia ingin melihat kewanitaanku. Tapi bagaimanapun, aku
merasa amat keberatan kalau seorang anak kecil melihat vaginaku yang
selalu kujaga baik-baik untuk suamiku di masa depan.
“Ayo, kak! Kalau tidak aku akan melaporkan kakak ke Mami lho!!” ancamnya
sekali lagi. Aku sadar, aku tidak mungkin meloloskan diri dari
permintaan Rendy.
“Iya deh! Tapi cuma sebentar saja ya!” gerutuku. Saat mendengar kata
‘melapor ke Mami’, aku sudah kalah telak tanpa bisa membantah atau
menolak permintaan anak ini.
“Oke deh!!” serunya dengan riang setelah mendapat izin dariku. Tanpa
menunggu lama, ia segera melorotkan kedua sisi celana dalamku dan
menurunkan celana dalamku hingga celana dalamku tergulung di pahaku.
Sekarang, tanpa pelindung apapun, kewanitaanku terpampang jelas
dihadapan Rendy yang kini mengalihkan perhatiannya ke vaginaku.
Pikiran dalam hatiku berkecamuk. Apa yang sebenarnya kulakukan?
Bukankah bu Diana membayarku untuk mengajar les privat anaknya? Namun
kenyataannya sekarang, celana dalamku sudah ditarik turun oleh muridku
sendiri yang kini sedang sibuk mengamati kewanitaanku. Kalau bu Diana
mengetahui hal ini, aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya padaku.
Paling tidak aku agak beruntung karena bu Diana tidak berada di rumah
saat ini, jadi aku tidak perlu khawatir akan kepergok olehnya.
“Waah, beda sekali dengan memek cewek-cewek di film porno. Memek
kakak bersih ya! Nggak ada rambut-rambutnya!” puji Rendy padaku.
Tentu saja! Aku paling menjaga dan merawat daerah kewanitaanku sebaik
mungkin. Aku selalu teratur membersihkan vaginaku dan mencukur rambut
kemaluanku. Mana mungkin vaginaku disamakan dengan vagina para perempuan
di
video porno yang pasti tidak dirawat dengan teratur! Pikirku kesal.
“Hei, Rendy. Sudah cukup ya?” pintaku pada Rendy.
“Sebentar lagi, ya. Kak!”
Ampuun! Aku benar-benar terjebak! Memamerkan kewanitaanku didepan
anak SMP sudah lebih dari cukup untuk membuatku malu seumur hidup! Aku
tak berani membayangkan kalau ada orang yang melihat hal ini. Badanku
terasa panas dan keringatku mulai mengucur deras hanya karena
kewanitaanku diamati oleh Rendy. Apalagi mengingat kalau aku seharusnya
mengajarinya dalam pelajaran, bukan malah memberinya tontonan yang tidak
pantas seperti ini.
“Waah… kok memek kakak makin lama makin basah sih?!” tanya Rendy tiba-tiba.
“Ah… Eh?!” mendadak aku tersadar dari lamunanku, saat itulah aku baru
menyadari kalau jari telunjuk Rendy sudah menyentuh bibir vaginaku.
Ujung jari Rendy sudah mulai masuk sedikit kedalam liang vaginaku dan
mulai menggosok-gosok bibir vaginaku yang sudah basah karena luapan
cairan cintaku tanpa sadar.
“AAH!!! Hei!! Hentikan, Rendy!!!” aku benar-benar panik melihat jari
Rendy di vaginaku itu. Aku takut kalau keperawananku malah terenggut
oleh jari-jari Rendy. Namun Rendy tidak berhenti.
“Rendy! Sudah cukup, hei!! Bukannya kamu berjanji hanya melihat saja?!” protesku pada Rendy.
“Aargh! Berisik! Diam saja! Kalau tidak, kutusukkan jariku kedalam memek kakak dalam-dalam, mengerti?!” bentak Rendy padaku.
Aku benar-benar takut. Rendy memang memegang kendali saat ini,
apalagi dengan jarinya yang masih sibuk memainkan bibir vaginaku, mudah
saja baginya untuk memperawaniku dengan jarinya. Aku berpikir daripada
aku diperawani jari-jari Rendy, mungkin lebih baik kalau aku menuruti
kemauannya. Aku kembali menangis terisak, namun Rendy tidak menghiraukan
tangisanku, ia malah menggosok-gosokkan jarinya di sela vaginaku dengan
pelan. Saat itulah aku tersentak sesaat merasakan kenikmatan gosokan
jari Rendy di vaginaku. Jujur saja, ini merupakan pengalaman pertama
bagiku merasakan kenikmatan seperti itu karena aku tidak pernah beronani
sebelumnya. Aku pun merasa tenagaku untuk berontak lenyap seketika.
“Ah… ohh… aakh…” tanpa sadar, aku mendesah nikmat karena gosokan jari Rendy.
“Ada apa, Kak?!” tanya Rendy padaku.
“Aahh… hentikan… Rendy… jangan… auuch…” Suaraku sudah mulai bercampur dengan lenguhanku.
“Lho, kok kakak mau berhenti? Bukannya rasanya enak Kak?” balasnya setengah mengejek.
“Eegh… itu… itu…” tanpa sadar, aku pun melepaskan rokku yang dari tadi
kupegang, tapi Rendy segera menyibakkan rokku kembali. Rendy terus
mengamati wajahku untuk melihat reaksiku, aku berusaha tidak menatap
wajahnya, walaupun sesekali dapat kulihat ia tersenyum dengan reaksiku.
Badanku terasa limbung ke belakang, tempat meja belajar Rendy berada.
Aku pun menyandarkan diri di meja belajar itu dan kedua tanganku
memegang bibir meja itu agar aku tidak jatuh. Rendy sekarang memegangi
rokku dan menekannya di perutku, sehingga rokku tersibak dan vaginaku
terpampang semakin jelas.
“Nah, kita mulai sekarang ya, Kak?” ujarnya padaku dan ia mulai
mempercepat gosokannya di bibir dan celah-celah vaginaku. Aku pun tidak
lagi menolak. Lagipula, aku tidak ingin Rendy menghentikan aktivitasnya
saat ini, aku sudah terlanjur dikuasai kenikmatan yang melanda tubuhku
“Ouchhh… aahh… aahhh…” desahku menahan kenikmatan di vaginaku, akal
sehatku sudah lenyap dan aku sepenuhnya dikuasai oleh kenikmatan di
kewanitaanku. Entah mengapa, fakta bahwa yang mengocok vaginaku adalah
muridku sendiri yang masih SMP malah membuatku semakin bernafsu.
“Aduuh… aw… aw… aww…” rintihan-rintihan kenikmatan keluar dari
mulutku setelah 3 menit berlalu sejak bibir kewanitaanku dilayani oleh
jari-jari Rendy. Aku pun sudah tidak tahan lagi, aku merasa akan segera
mencapai orgasmeku untuk pertama kalinya. Namun, tiba-tiba terdengar
suara decitan mobil di halaman rumah. Bu Diana telah pulang! Aku dan
Rendy segera menghentikan aktifitas kami, dan aku segera merapikan
celana dalam dan rokku kembali. Kami lalu bergegas kembali ke meja
belajar untuk melanjutkan les. Walaupun aku merasa agak kecewa karena
nyaris saja mencapai orgasme, namun aku tetap melanjutkan mengajari
Rendy walaupun suasana hatiku amat galau saat itu.
Akhirnya aku pun selesai mengajar Rendy hari itu. tapi harus kuakui,
Rendy tampak lebih bersemangat menyimak penjelasanku sehabis kejadian
itu. Hanya saja aku tampak kacau karena banyak hal yang terjadi hari
itu. Tapi bagaimanapun aku juga masih bersyukur karena selaput daraku
tidak sampai robek akibat ulah Rendy tadi. Sebelum pulang, Rendy sempat
meminjam Handphoneku. Alasannya, ia mau mengirimkan lagu-lagu baru
untukku, aku pun hanya mengiyakan saja permintaan Rendy itu. Setelah
Rendy mengembalikan Handphoneku, aku pun segera pamit kepada bu Diana
dan kemudian pulang ke tempat kosku. Aku berharap semua kejadian hari
ini hanyalah mimpi buruk semata.
Esok harinya, aku pun terbangun dalam keadaan galau. Semalaman aku
mencoba tidur, namun di kepalaku selalu terbayang kejadian kemarin sore
di rumah bu Diana. Akibatnya, bisa ditebak, aku benar-benar merasa amat
letih dan lesu.
Aku pun mencoba menyetel lagu yang kemarin diberikan Rendy padaku untuk
mempercerah suasana. Aku lalu membuka handphoneku untuk mendengarkan
lagu. Tapi aku tidak menemukan satupun file musik baru di handphoneku,
malahan, lagu-lagu koleksiku banyak yang terhapus. Penasaran, aku pun
memeriksa isi handphoneku. Sekarang, di bagian video, malah ada sebuah
video yang berukuran ekstra besar. Penasaran dengan video di
handphoneku, aku pun mulai memutar video itu.
Astaga! Aku benar-benar terkejut setengah mati saat melihat diriku
yang sedang memamerkan celana dalam di hadapan Rendy terekam di video
itu dan bagaimana Rendy memainkan jari-jarinya di vaginaku juga terlihat
dengan amat jelas dari arah samping. Saat itulah aku baru ingat bahwa
saat aku memamerkan selangkanganku, sebuah handycam milik Rendy
tergeletak di ranjangnya yang ada disamping meja belajarnya. Berarti,
Rendy secara diam-diam berhasil merekam adegan mesumku!
Tidak terbayang bagaimana perasaanku saat itu. Rasa letih dan lesu
yang menyerangku dari pagi kini ditambah dengan perasaan cemas dan takut
kalau video itu disebarluaskan, apalagi wajahku tampak jelas di video
itu. Aku bingung, apa yang harus kulakukan? Bagaimana apabila video itu
sudah disebarluaskan? Aku pasti diberhentikan dari universitas. Parahnya
lagi, aku pasti akan dianggap sebagai perempuan rendahan oleh
masyarakat. Bagaimana caraku menjelaskan pada keluargaku tentang video
itu?
Bayangan-bayangan itu terus berkecamuk didalam pikiranku selama seharian
penuh. Walaupun begitu, sore harinya aku kembali berangkat menuju rumah
bu Diana untuk mengajari Rendy.
Saat aku datang, bu Diana masih belum pulang karena harus
menyelesaikan proyek di studionya. Aku pun segera menemui Rendy untuk
menyelesaikan masalah ini. Kebetulan, Rendy yang membukakan pintu
untukku. Seolah ia sudah lama menunggu kedatanganku.
“Halo, Kak Erina. Bagaimana, video klip lagunya bagus tidak?” tanyanya dengan nada mengejek.
“Rendy, kenapa kamu sejahat itu dengan kakak?! Buat apa kamu merekam
video beginian sih?! Belum cukup kamu mempermainkan kakak kemarin?!!”
jawabku dengan perasaan kesal bercampur cemas.
“Waah, kenapa Rendy dibilang mempermainkan kakak? Bukannya kemarin kakak
terlihat nyaman saat aku layani?” Mata Rendy tampak semakin
merendahkanku.
“Sudahlah! Mana videonya? Cepat berikan ke kakak!!” perintahku.
“Tenang saja kak, videonya Rendy simpan dengan baik kok. Jadi kakak tenang saja!”
Aku mengepalkan tanganku, menahan berbagai macam emosi yang
bergejolak didalam hatiku. Nyaris aku kembali menangis karena rasa cemas
yang semakin kuat mencengkeram diriku, namun aku berusaha mengendalikan
diri. Aku sadar aku tidak bisa mengambil jalan kekerasan untuk
menghadapi Rendy, karena malah akan membuat masalahku tambah runyam.
“Oh iya, Rendy juga belum memperlihatkan videonya ke orang lain.
Waah, sayang sekali ya kak? Padahal videonya bagus kan?” lanjutnya.
Mendengar pernyataan Rendy itu, aku merasa melihat secercah cahaya
dan harapanku sedikit pulih. Namun masih saja aku merasa tegang dan
cemas. Aku pun berusaha membujuk Rendy untuk menyerahkan video itu
padaku.
“Rendy, kakak mohon… berikan video itu ke kakak, ya? Tolong jangan
sakiti kakak lagi…” aku memohon meminta belas kasihan pada Rendy.
“Hmm… kalau begitu, kakak harus mau menuruti perintahku lagi, aku berjanji akan memberikan videonya ke kakak.”
“Kakak mohon, Rendy… Jangan lagi…” air mataku kembali mengucur saat
mendengar syarat yang diajukan Rendy. Berarti aku harus kembali
merendahkan diriku dihadapannya.
“Kakak mau atau tidak?! Kalau tidak, ya sudah! Kakak bisa melihat
videonya di internet besok pagi.” Ketusnya tanpa menghiraukan
perasaanku.
Aku pun tidak punya pilihan lain, selain menuruti kemauan Rendy.
Tampaknya percuma saja aku berusaha meminta belas kasihan anak ini. Yang
ada di pikirannya saat ini pasti hanyalah keinginan untuk mempermainkan
diriku sekali lagi. Terpaksa aku harus melayani permintaannya lagi agar
video itu kudapatkan.
“Baiklah, kakak mengerti… Kakak akan menuruti perintahmu, tapi kamu
harus berjanji akan memberikan video itu ke kakak!” jawabku memberi
persetujuan.
“Beres, Kak!” Kali ini Rendy tampak girang sekali saat mendengar kalimat persetujuanku itu.
“Nah, sekarang apa yang kamu mau?!” Tanyaku tidak sabaran
“Tunggu sebentar dong Kak… Jangan buru-buru! Kalau sekarang pasti cuma sebentar karena Mami sebentar lagi pulang.”
“Lalu, kamu maunya kapan?”
“Nah, kebetulan 2 hari lagi Mami akan berangkat ke luar negeri, soalnya
Mami akan memperagakan busana pengantin buatannya di pameran.”
“Lalu kenapa?”
“Kebetulan minggu depan ada ulangan yang penting, jadi aku boleh tinggal
di rumah ini sampai mami pulang. Selama itu, aku mau kakak untuk
tinggal bersamaku di rumah, sambil mengajariku! Bagaimana? Kita bisa
bersenang-senang sampai puas kan, Kak?”
“Memangnya sampai kapan bu Diana ada di luar negeri?” tanyaku kembali.
“Yaah, karena Mami juga mau ketemu Papi di Jerman, makanya Mami tinggal di sana selama 2 minggu.”
“Tapi apa bu Diana akan mengizinkan kakak untuk tinggal disini?”
“Tenang saja, kak! Biar nanti Rendy yang bicara dengan Mami.” Ujarnya meyakinkanku.
Aku menghela nafas sejenak sambil berpikir menimbang-nimbang
permintaan Rendy. Sebenarnya aku tidak begitu rugi apabila aku menginap
di rumah bu Diana. Aku bisa menghemat uang kosku selama setengah bulan
kalau aku menginap di rumah bu Diana. Lagipula aku akan lebih bisa
mengawasi Rendy untuk belajar menghadapi ujian semesternya yang kian
mendekat, dengan begitu, aku bisa mendapat kesempatan untuk mengamankan
pekerjaanku. Sebenarnya yang perlu kulakukan hanyalah memastikan kalau
Rendy tidak “mengerjaiku” lebih parah dari kemarin.
“Baiklah, kakak setuju. Tapi kamu juga harus berjanji, kamu harus
belajar yang rajin selama kakak tinggal di rumahmu.” Anggukku sambil
memberinya penawaran.
“Berees, kak! Asal kakak mau menurutiku selama itu, aku pasti belajar!” jawabnya dengan bersemangat.
“Iya, iya…” balasku dengan perasaan agak lega.
Kami lalu segera beranjak ke kamar Rendy dan aku pun mulai
mengajarinya. Tapi hari ini ada yang berbeda dari Rendy. Ia tampak lebih
serius dan bersemangat dalam menyimak penjelasanku. Kurasa dia sudah
cukup senang saat mendengar aku akan menginap di rumahnya 2 hari lagi.
Tak lama kemudian, kudengar suara bu Diana di lantai bawah.
“Nah, Mami sudah pulang! Kakak tunggu sebentar ya! Aku mau bicara
dulu dengan Mami!” Rendy segera beranjak dari kursinya dan keluar dari
kamarnya tanpa menghiraukanku. Sayup-sayup kudengar suara percakapan
Rendy dengan bu Diana, namun aku tidak dapat mendengar dengan jelas apa
yang mereka katakan. Sambil menunggu Rendy, aku mempersiapkan soal-soal
latihan yang akan kuberikan untuknya nanti.
Sekitar 5 menit kemudian, Rendy kembali ke kamarnya bersama bu Diana.
“Halo, Erina. Rendy meminta saya untuk mengizinkanmu tinggal di rumah ini selama saya tidak dirumah.”
“Eh? I… iya, bu Diana! Rendy memberitahu saya kalau ia ingin mendapat
les tambahan dari saya selama bu Diana tidak dirumah… Katanya… untuk
persiapan ujian semester…” ujarku dengan agak gugup.
“Wah, kebetulan sekali kalau begitu! Soalnya tante Rendy juga akan ikut
ke Jerman. Makanya tadi saya sempat mengajak Rendy untuk ikut. Tapi
karena ada ulangannya yang penting, Saya jadi ragu-ragu.”
“Jadi?” tanyaku
“Kalau kamu mau, Saya memperbolehkan kamu tinggal disini selama saya
tidak dirumah. Tapi saya juga meminta kamu untuk mengurus Rendy selama
itu. Sebagai gantinya, saya akan berikan tambahan bonus untukmu di akhir
bulan ini. Bagaimana?” Jawab bu Diana memberikan tawaran.
“Baik, bu Diana. Saya setuju!” anggukku sambil tersenyum. Sekarang aku
mendapat tambahan keuntungan dengan menerima tawaran Rendy. Dengan
bonus yang disediakan bu Diana dan penghematan uang kosku selama
setengah bulan, aku bisa menambah uang tabunganku sekaligus membiayai
sebagian keperluanku bulan depan.
“Baguslah! Kalau begitu, Erina, tolong kamu siapkan barang-barangmu
yang akan kamu bawa untuk tinggal disini. Lusa nanti saya akan
menjemputmu sebelum kamu mengajar Rendy.” Ujar bu Diana.
“Iya, bu Diana!” aku mengiyakan permintaan bu Diana.
Setelah menyelesaikan tugasku hari itu, aku segera bergegas pulang
untuk mulai mengemas barang-barangku. Untunglah aku tidak memiliki
banyak barang selain pakaian dan perlengkapan-perlengkapan kecil
milikku. Aku juga memberitahu pemilik rumah kosku bahwa aku akan pindah
selama setengah bulan. Syukurlah mereka mau mengerti dan bersedia
menyimpankan kamar bagiku apabila aku kembali.
2 hari kemudian, bu Diana dan Rendy pun datang menjemputku sebelum
aku mengajar Rendy. Aku lalu diantar ke rumah mereka. Aku diizinkan
untuk tidur di kamar tamu di lantai bawah. Malam harinya, aku diberitahu
bu Diana tugas-tugasku di rumah itu selama bu Diana di luar negeri. Aku
diminta untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga seperti
memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Aku sudah terbiasa memasak dan
mencuci sendiri sejak kecil, maka tugas ini tidak lagi sesulit yang
kubayangkan. Lagipula untuk keperluan sehari-hari, bu Diana sudah
menyuruh anak buahnya untuk mengantar bahan makanan dan supir studio
untuk mengantar-jemput kami. Apabila ada hal lainnya yang diperlukan,
aku hanya perlu menelepon studio untuk meminta bantuan mereka.
Esok harinya, bu Diana sudah berangkat saat aku pulang dari kuliah.
Sehingga hanya ada aku dan Rendy sendiri di rumah. Aku segera menuju
kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Seusai mandi, aku benar-benar
terkejut saat melihat semua pakaian milikku menghilang. Hanya ada satu
pelaku yang dapat melakukan hal ini! Aku lalu menutupi tubuhku dengan
selembar handuk yang untungnya, tidak sempat diambil oleh “pencuri” itu.
Aku segera naik ke lantai atas untuk mengambil kembali pakaian milikku.
“Rendy! Reendyy!! Buka pintunya!” Seruku sambil menggedor kamar
Rendy. Pintu kamar itu sedikit dibuka dan wajah Rendy muncul dari
sela-sela pintu kamar itu.
“Ya, ada apa kak?!” tanyanya padaku. Namun matanya segera melirik
tubuhku yang hanya berbalutkan sebuah handuk dan ia tersenyum
cengengesan melihat keadaanku.
“Wah, waah… Kakak sudah tidak sabaran ya?” tanyanya sambil tertawa kecil.
“Huuh! Dasar usiil!! Ayo, kembalikan baju kakak!!” gerutuku.
“Lhooo… memangnya baju kakak kuambil? Apa ada buktinya?”
“Kalau bukan kamu siapa lagii? Sudah, ayo cepat kembalikan baju kakak!”
“Kak, kalau menuduh orang tanpa bukti itu tidak baik lho! Hukumannya,
aku tidak mau memberitahu dimana kusembunyikan baju kakak, Hehehe…”
Rendy tersenyum mengejekku dan menutup dan mengunci pintu kamarnya
dihadapanku.
“Aah! Hei, Rendy! Tunggu duluu…” protesku, tapi Rendy sudah keburu menutup pintu kamarnya sambil mengejekku dibalik pintu.
Aku pun terpaksa menggigil kedinginan, suhu di rumah itu dingin
sekali karena dipasangi AC, ditambah lagi aku baru saja mandi dan
sekarang tubuhku hanya ditutupi oleh selembar handuk saja. Selama
beberapa menit aku terus menggedor pintu kamar Rendy dan berusaha
membujuknya, namun ia sama sekali tidak menggubrisku.
“HATSYII…!!!” Karena tidak biasa, aku pun bersin akibat pilek karena suhu dingin itu.
“Kak! Kakak pilek, ya?” tiba-tiba terdengar suara Rendy dari balik pintu.
“I… iya… Rendy, tolong…. kembalikan pakaian kakak… disini dingin sekali… kakak tidak tahan…”
“Oke deh, tapi kakak harus mau memakai pakaian yang kuberikan ya!”
“Iya… iya… cepat doong…. Kakak kedinginan disini…” pintaku pada Rendy
Rendy kembali keluar dari kamarnya. Ia melihat sekujur tubuhku yang
menggigil kedinginan. Anehnya, raut wajahnya tampak berubah, ia tidak
lagi tampak senang ataupun puas mengerjaiku. Kini ia tampak agak
gelisah.
“Haa… HATSYII!!!” kembali aku bersin dihadapannya. Kulihat raut wajahnya semakin cemas saja melihat keadaanku.
“Ayo Kak, ikut denganku!” pinta Rendy padaku yang segera kuturuti saja.
Rendy menuntunku ke ruang disebelah kamarnya. Pintu ruang itu
dikunci, namun Rendy segera membuka pintu itu dengan sebuah kunci di
tangannya. Begitu aku masuk, aku takjub melihat puluhan helai gaun
pengantin putih dalam berbagai ukuran dan model yang tergantung rapi di
kamar itu. Berbagai aksesoris pengantin wanita juga tertata rapi bersama
gaun-gaun itu. Rupanya kamar itu adalah kamar desain bu Diana sekaligus
tempatnya menyimpan hasil rancangannya yang belum dikirim ke studio.
“Kak, aku minta kakak memakai baju itu.” ujar Rendy seraya menunjuk
ke arah sehelai gaun pengantin putih yang dipasang di sebuah mannequin.
“Apaa?! Kenapa kakak harus memakai baju seperti itu? Memangnya kakak mau
menikah, apa?!” jawabku setengah tak percaya, setengah kebingungan.
“Ya, sudah! Kalau kakak tidak mau, kakak boleh memakai handuk itu saja kok!” balas Rendy.
“Iyaa! Dasar!! Kamu mintanya yang aneh-aneh saja!!” ujarku agak kesal.
Terpaksa kuturuti permintaan Rendy, daripada pilekku semakin parah.
“Oh iya Kak!”
“Apa lagii?”
“Pakaiannya yang lengkap ya, Kak! Soalnya baju itu sudah 1 set dengan aksesorisnya!” pinta Rendy.
“Jangan lupa juga untuk merias diri dengan kosmetik Mami ya Kak! Sudah kusiapkan lhoo…” imbuhnya.
Aku menghela nafas dan menutup pintu kamar itu. Memang kulihat gaun
itu dilengkapi dengan mahkota, sarung tangan, bahkan stocking dan sepatu
yang semuanya berwarna putih susu. Luar biasa! Sejenak aku kagum dengan
kepandaian bu Diana dalam merancang gaun itu, komposisi yang disusunnya
benar-benar serasi. Aku lalu menuruti perintah Rendy untuk memakai
semua pakaian itu dengan lengkap. Berat bagiku memang, karena aku belum
pernah memakai gaun pengantin sebelumnya. Setelahnya, aku pun merias
diriku dengan kosmetik milik bu Diana. Kulihat semua kosmetik itu buatan
luar negeri. Aku sendiri agak canggung untuk memakai kosmetik-kosmetik
itu, mengingat harganya yang selangit bagi mahasiswi sepertiku. Tapi
setidaknya, aku mendapat sebuah kesempatan untuk mencoba
kosmetik-kosmetik itu, maka aku berusaha untuk tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini.
Setelah beberapa lama, aku akhirnya selesai mempengantinkan diriku.
Kubuka pintu kamar itu dan seperti yang sudah kuduga, Rendy sedari tadi
sudah menungguku didepan pintu. Ia tampak amat terpana melihatku yang
berbusana pengantin itu.
Busana pengantinku berupa sebuah gaun pengantin putih yang indah
sekali. Atasan gaun memiliki sepasang puff bahu yang terikat dengan
sepasang sarung tangan satin dengan panjang selengan di kedua tanganku
yang kini menutupi jari-jariku yang lentik. Di bagian perut dan dada
gaunku bertaburan kristal-kristal imitasi yang samar-samar membentuk
sebuah pola hati. Bagian pinggang gaun itu memiliki hiasan
kembang-kembang sutra yang melingkari bagian pinggang gaun itu seperti
sebuah ikat pinggang yang seolah menghubungkan atasan gaunku dengan rok
gaun polos yang dihiasi manik-manik membentuk hiasan bunga-bunga yang
bertebaran disekeliling rok gaunku. Pinggulku dipasangi pita putih
besar. Aku juga memakaikan rok petticoat di pinggangku agar rok gaunku
tampak mengembang. Rendy sendiri tampak kagum melihat cantiknya wajahku
yang sudah kurias sendiri; kelopak mataku kurias dengan eye-shadow
berwarna pink dan alsiku yang kurapikan dengan eye-pencil. Sementara
lipstick yang berwarna pink lembut kupilih untuk melapisi bibirku yang
tampak serasi dengan riasan bedak make-upku.
Riasan mahkota bunga putih tampak serasi dengan rambut hitam-sebahuku
yang kubiarkan tergerai bebas. Aku telah memasang stocking sutra
berwarna putih yang lembut di kakiku yang dilengkapi dengan sepasang
sepatu hak tinggi berwarna putih yang tampak serasi seperti gaun
pengantinku. Tubuhku juga kuberi parfum melati milik bu Diana sehingga
sekujur tubuhku memancarkan aroma melati yang amat wangi.
“Nah, bagaimana?” ujarku pada Rendy yang masih melongo melihat penampilanku.
“Hei! Kok malah bengong sih?!” seruku, yang segera menyadarkan Rendy dari lamunannya.
“E… eh… ccantik sekali Kak!” jawab Rendy tergagap-gagap, aku tertawa kecil melihat tingkahnya yang kebingungan.
“Kak, ini… buat kakak…” Rendy mengulurkan setangkai mawar merah kepadaku. Mawar merah yang indah itu tampak segar berkilauan.
“Waah, terima kasih ya!!” otomatis aku mencium bunga itu untuk menghirup
aromanya. Sejenak aroma yang menyengat memasuki hidungku aku pun
langsung merasa pandanganku tiba-tiba kabur dan tubuhku terasa lemas.
Aku pun ambruk tidak sadarkan diri. Sayup-sayup kulihat senyuman Rendy,
aku berusaha untuk tetap sadarkan diri, namun mataku terasa berat sekali
dan akhirnya aku menutup kelopak mataku.
Entah apa yang terjadi pada tubuhku, namun saat aku sadar, aku
melihat diriku sudah terbaring mengangkang di sebuah ranjang canopy
dalam keadaan berbusana pengantin lengkap. Kedua tanganku terikat di
belakang punggungku sementara kakiku terikat erat di sisi kanan-kiri
tiang ranjang itu sehingga posisi tubuhku mengangkang lebar. Aku merasa
amat geli di daerah kewanitaanku, seperti ada sebuah daging lunak hangat
yang menyapu-nyapu daerah kewanitaanku, terkadang daging itu
menusuk-nusuk seolah hendak membuka bibir kewanitaanku melewati celah
vaginaku. Aku juga merasa daerah disekitar vaginaku amat becek akibat
gerakan daging itu.
“Aahh… oohhh…” Aku pun mendesah pelan menikmati sensasi di
kewanitaanku itu. Rasanya vaginaku seolah diceboki, namun gerakan daging
itu yang seolah berputar-putar mempermainkan vaginaku menimbulkan
sensasi nikmat disekujur tubuhku. Aku merasa tubuhku diairi listrik
tegangan rendah saat daging itu membelah bibir kewanitaanku dan
menyentuh lubang pipisku.
“Eh! Kakak sudah bangun rupanya!!” tiba-tiba kudengar suara Rendy
dibalik gaunku. Aku berusaha mendongak dan kulihat wajah Rendy sedang
berada tepat didepan selangkanganku yang terbuka lebar. Sadarlah aku
kalau “daging” tadi tak lain adalah lidah Rendy yang sedang menjilati
vaginaku. Aku berusaha berontak, namun untuk menutup kedua pahaku yang
sedang terbuka lebar saja amat sulit. Tubuhku terasa amat lemas tanpa
tenaga. Saat aku melihat sekitarku, aku baru sadar kalau aku kini berada
didalam kamar bu Diana.
“Badan kakak masih belum bisa digerakkan, soalnya pengaruh obat tidur
Mami masih tersisa.” Jelas Rendy sambil berjalan ke sampingku. Sekejap
aku merasa amat panik dan berusaha mengerahkan seluruh tenagaku untuk
kabur, tapi sia-sia saja. Tubuhku tidak mau bergerak sedikitpun. Astaga!
Bagaimana aku bisa sebodoh itu mencium aroma bunga yang ditaburi obat
bius?! Niatku untuk menjaga jarak dari Rendy kini sia-sia saja. Sekarang
malah kesucianku terpampang jelas dihadapannya, aku dalam keadaan
terjepit dan tidak bisa kabur lagi.
“Kakak tenang saja, dijamin enak kok! Hehehe…” tawa Rendy terkekeh-kekeh.
“Jangan, Rendy… Jangan… kakak mohon!!” pintaku berderai air mata saat
melihat Rendy berbalik berjalan menuju arah selangkanganku. Namun
sia-sia saja, Rendy sama sekali tidak mau mendengar permohonanku. Aku
pun semakin panik dan cemas. Air mataku kembali meleleh membasahi
mataku, namun apa dayaku? Tubuhku kini amat sulit digerakkan karena
ikatan itu ditambah rasa lemas disekujur tubuhku karena pengaruh obat
bius yang tersisa. Kini aku hanya bisa pasrah membiarkan Rendy menyantap
kewanitaanku. Jantungku berdegup semakin kencang dan wajahku merah
merona saat Rendy semakin mendekati selangkanganku. Rendy lalu memegang
kedua pahaku yang mulus. Ia mulai mengendusi paha kananku sementara paha
kiriku dibelai-belai dengan tangannya.
“Essh…” aku mendesis sesaat setelah bibir Rendy mencium bibir
kemaluanku. Hembusan nafas Rendy di pahaku membuat tubuhku sedikit
mengigil kegelian. Saat bibir kemaluanku bertemu dengan bibir Rendy,
Rendy mulai menjulurkan lidahnya. Seperti lidah ular yang menari-nari,
bibir kemaluanku dijilati olehnya. Kembali bibir kewanitaanku dibelah
oleh lidah Rendy, yang kembali menarikan lidahnya menceboki liang
vaginaku perlahan-lahan. Aku berusaha sekuat mungkin untuk menahan
gejolak birahi yang kini mulai melanda diriku, namun tetap saja suara
desahan-desahanku yang tertahan sesekali terdengar keluar dari bibirku
karena rasa nikmat yang menjuluri tubuhku apalagi belaian lembut Rendy
di pahaku semakin terasa geli akibat stocking sutra yang kupakai.
“Haaa?! Aakh…!!” Sontak aku menjerit terkejut saat merasakan sensasi
rasa geli dan nikmat yang tiba-tiba melanda tubuhku. Rupanya Rendy
menjilati klitorisku. Sesekali ia menyentil klitorisku dengan lembut
sehingga sekujur tubuhku seperti dialiri listrik dan bulu kudukku
berdiri. Rendy menyadari bahwa aku mulai dikuasai oleh gejolak birahiku.
Ia terus melancarkan serangannya ke klitorisku. Berulang kali
permohonanku yang disertai dengan desahan kusampaikan ke Rendy, namun ia
malah tampak kian bersemangat mengerjaiku. Kesadaranku pun semakin
menghilang tergantikan dengan rasa nikmat dan hasrat seksual yang
semakin merasuki tubuhku.
“Bagaimana kak? Enak tidak?” tanya Rendy padaku.
“Rendyy… stoop… auhhh… jangaan…”
“Ah masaa? Bukannya kakak mendesah keenakan tuh? Yakin nih, nggak mau
lagi?” ejeknya sambil menjauhkan wajahnya dari kemaluanku. Namun secara
refleks, aku malah mengangkat pinggangku kehadapan wajah Rendy, seolah
menawarkannya untuk kembali mencicipi liang vaginaku.
“Tuh, kan?! Malu-malu mau, nih cewek!” kembali Rendy menghinaku.
Dipeganginya kedua bongkahan pantatku dengan telapak tangannya dan
dtegadahkannya tangannya, sehingga kini pinggangku ikut terangkat tepat
dihadapan wajah Rendy.
“Aww… aww… aaahh…” kembali aku merintih saat Rendy mengecup dan
mengisap-isap daging klitorisku. Sesekali aku merasa sentuhan giginya
pada klitorisku dan hisapannya membuatku kini hanya berusaha untuk
mengejar kenikmatan seksualku semata.
SLURP… SLURP… Sesekali terdengar suara Rendy yang menyeruput cairan
cintaku yang sudah banyak keluar dari vaginaku, seolah hendak melepas
dahaganya dengan cairan cintaku.
“AAHH… AAHHH… AAA…” Desahanku semakin keras. Aku merasa ada sebuah
tekanan luar biasa di vaginaku yang sebentar lagi hendak meledak dari
dalam tubuhku. Otot-otot tubuhku secara otomatis mulai menegang
sendirinya.
“HYAA… AAAKH!!!” jeritku bersamaan dengan meledaknya tekanan dalam
tubuhku. Tanpa bisa kutahan, pinggangku menggelepar liar, bahkan Rendy
terlontar mundur akibat dorongan tubuhku. Aku bisa merasakan vaginaku
memuncratkan cairan cintaku dalam jumlah yang banyak. Seluruh simpul
sarafku terasa tegang dan kaku saat sensasi geli dan nikmat yang luar
biasa itu menjalari tubuhku, dan akhirnya muncul perasaan lega yang
nyaman setelahnya. Aku pun terkapar kelelahan, nafasku tersengal-sengal.
Tenaga di tubuhku seolah lenyap seketika. Aku sadar, baru saja aku
mengalami orgasme yang luar biasa!
“Wah, waah… Rupanya galak juga nih, kalau orgasme!” ejek Rendy yang
kini terduduk dihadapan selagkanganku. Ia mendekati vaginaku dan kembali
ia menyeruput cairan cintaku yang masih tersaji di vaginaku setelah
ledakan orgasmeku barusan. Aku pun hanya mendesah kecil tanpa
memberontak. Kepalaku serasa kosong dan aku membiarkan Rendy menikmati
cairan cintaku sesuka hatinya.
Setelah puas meminum cairan cintaku, Rendy berdiri di hadapanku dan
melepas pakaiannya sehingga ia telanjang bulat dihadapanku. Bisa kulihat
penisnya yang panjangnya sekitar 14 cm sudah menegang keras melihat
keadaanku yang mengangkang lebar, memamerkan kewanitaanku didepannya.
Rendy berjalan melewati tubuhku hingga akhirnya ia tiba didepan
kepalaku. Rendy lalu berlutut dihadapan wajahku sambil mengocok
penisnya.
“Kak, tadi rasa memek kakak enak sekali loh! Nah sekarang giliran
kakak ya, ngerasain punya Rendy?” seloroh Rendy. Aku yang menyadari
kalau Rendy akan mengoral penisnya dengan mulutku, mulai menjerit
meminta pertolongan.
“TOL… uumph!!” jeritanku terhenti karena Rendy langsung menyumpalkan
penisnya didalam mulutku. Walaupun ukuran penisnya tidak begitu besar,
namun batang penisnya sudah cukup memenuhi rongga mulutku yang mungil.
“Hhmmphh… hmph…” suaraku teredam oleh penis Rendy. Aku berusaha
memuntahkan penis itu, namun Rendy memajukan pantatnya sehingga penisnya
tetap masuk didalam mulutku hingga menyentuh kerongkonganku.
Rendy menjambak poni rambutku dan mulai menggerakkan kepalaku maju
mundur. Rasa sakit di ubun-ubunku karena poni rambutku dijambak sudah
cukup untuk membuatku tidak berontak lebih jauh, aku mengikuti gerakan
tangan Rendy yang sedang memaksaku mengulum dan mempermainkan penisnya
dalam mulutku.
“Aahh… Enaak…” desah Rendy saat penisnya keluar masuk dari mulutku.
“Hmmp… mpp… phh…” aku berusaha mengambil nafas untuk menyesuaikan
gerakan penis Rendy dalam mulutku. Kocokan mulutku masih belum berhenti,
namun aku merasa agak mual karena rasa dalam mulutku saat ini.
Sementara leherku juga pegal karena dipaksa naik-turun oleh Rendy.
Beberapa saat kemudian, Rendy berhenti manjambak poniku, aku pun
segera merebahkan kepalaku yang pegal-pegal keatas bantal yang lembut
untuk melepas penat. Namun rupanya penderitaanku belum juga berakhir.
Rendy belum mau melepaskan kenikmatannya dioral olehku. Belum sempat
penisnya keluar dari mulutku, sekarang ia malah menekan selangkangannya
ke wajahku dan menggoyang-goyangkan pantatnya sehingga penisnya kembali
masuk kedalam rongga mulutku. Aku bisa merasakan buah zakarnya yang
tergantung menampar-nampar daguku berulang kali bersamaan dengan gerakan
pantatnya yang maju mundur dihadapan wajahku yang kini tertekan oleh
bantal, aku pun berulang kali tersedak karena penis Rendy dalam mulutku
bergerak dengan amat cepat.
“Oke, kak! Sekarang giliran kakak yang main! Ayo kulum dan mainin
pakai lidah kakak!” perintah Rendy sambil menghentikan gerakannya. Aku
sendiri sudah mati kutu, kepalaku terjepit diantara selangkangan Rendy
dan bantalku, sehingga aku tidak bisa bergerak bebas.
“Ayo, Kak! Atau mau kugerakkan sendiri dimulut kakak seperti
barusan?” ancamnya padaku. Aku pun tidak punya pilihan lain selain
menuruti perintah Rendy, setidaknya aku akan lebih leluasa bernafas
apabila aku yang bergerak sendiri. Aku pun menggerakkan lidahku
membelai-belai batang penisnya yang masuk hingga rongga mulutku.
Sesekali lidahku juga bersentuhan dengan kepala penisnya. Sebenarnya aku
agak jijik juga karena tercium bau agak pesing dari ujung penis Rendy,
namun apa dayaku? Lebih baik kuturuti perintah anak ini supaya siksaanku
cepat selesai. Aku pun berusaha untuk tidak begitu mempedulikan bau
itu. Penis Rendy kuanggap saja seperti permen yang luar biasa tidak
enak. Aku pun terus mengemut penis Rendy itu.
“Ayo, kak! Terus! Jago juga nih, nyepongnya! Enak bangeet!”
“Mmphh…” erangku.
“Isapin juga kak! Seperti ngisap permen!” kembali Rendy memberi perintah
padaku, yang langsung saja kuturuti. Kuhisap penisnya dengan pelan dan
lembut dengan harapan anak ini bisa segera menghentikan aksinya dan aku
bisa terbebas dari siksaan ini. Herannya, selama beberapa menit kuoral,
Rendy masih saja tidak puas. Aku pun mulai kelelahan mempermainkan
penisnya dalam mulutku, walaupun aku mulai terbiasa dengan situasiku
sekarang.
Entah setan apa yang merasukiku, namun saat aku mengingat bahwa aku
sedang mengoral penis anak kecil yang tak lain adalah muridku, aku
merasa hasrat seksualku kembali meninggi dalam tubuhku. Aku ingin sekali
mencapai orgasme sekali lagi dan aku ingin mencoba sesuatu yang lebih
hebat lagi bersama Rendy. Pikiran itupun membuatku memainkan penis Rendy
sebaik mungkin dalam mulutku agar Rendy mencapai kepuasannya.
“Ookh…” Aku mendengar suara erangan panjang keluar dari mulut Rendy
dan saat itulah, aku merasa mulutku disembur oleh cairan kental berbau
amis. Aku menyadari bahwa Rendy baru saja berejakulasi dalam mulutku,
dan kini mulutku dipenuhi spermanya. Rendy kembali menekankan
selangkangannya ke wajahku.
“Telan kak! Jangan sampai bersisa!”
Aku pun menuruti perintah Rendy, kutelan semua sperma dalam mulutku,
sekaligus kuhisap-hisap penis Rendy agar spermanya tidak bersisa. Rendy
hanya mengerang keenakan saat penisnya kubersihkan dengan mulutku.
“Woow… enaak… lebih enak dari onanii….” seloroh Rendy. Namun aku
tidak peduli, aku terus menghisap-hisap penisnya itu hingga aku yakin
tidak ada lagi sperma yang tersisa. Setelah selesai, Rendy mengeluarkan
penisnya dari dalam mulutku.
“Waah… Kakak jago banget lho! Enak sekali kak!”
“Rendy, kamu jahaat…” protesku.
“Lho kenapa? Bukannya kakak sekarang sudah jadi pengantinku?” balasnya.
“You may kiss your briide!!” sorak Rendy tiba-tiba. Tanpa basa-basi,
Rendy segera mencium bibirku. Bibirku diemut-emut dengan lembut dan
sesekali bibirku juga dijilati oleh lidahnya. Aku hanya membiarkannya
mempermainkan bibirku sesuka hatinya. Pelan-pelan lidah Rendy membelah
bibirku dan lidahnya menyusup kedalam rongga mulutku. Aku pun merespon
dengan menghisap lidah Rendy dengan lembut. Sesekali juga kujulurkan
lidahku, sehingga giliran Rendy yang menghisap air ludahku yang
menyelimuti lidahku. Gairah seksualku sekarang benar-benar menguasai
tubuhku, semakin kuingat bahwa Rendy yang saat ini sedang bercinta
denganku, semakin aku tenggelam dalam hasratku. Selama beberapa menit
kami terlibat dalam French kiss itu, sebelum akhirnya Rendy menghentikan
ciumannya di bibirku. Aku pun tampak kecewa saat Rendy menjauhkan
wajahnya.
“Kenapa kak? Enak kan rasanya? Masih mau lagi?” tanyanya.
Pertanyaan Rendy itu seketika memancing gairah seksualku yang
meningkat. Aku merasa ini adalah sebuah kesempatan bagiku, namun sebelum
aku sempat menjawab, tiba-tiba Rendy mengambil sehelai celana dalam
putih berenda yang tadi kupakai dan menjejalkannya ke mulutku hingga
celana dalamku memenuhi seluruh rongga mulutku. Belum puas, Rendy juga
melakban mulutku sehingga celana dalamku itu tersumpal sempurna didalam
mulutku.
“Mmfff….” Protesku pada Rendy. Namun suaraku terhalang oleh celana dalam yang menyumbat mulutku.
“Jangan dijawab dulu, Kak. Nanti ya, Rendy mau istirahat dulu!”
“Oh, Kakak juga boleh istirahat kok! Nah, daripada bosan, bagaimana
kalau kakak nonton saja dulu?” lanjut Rendy. Aku bisa mendengar suara
televisi yang dinyalakan dan suara pemutar DVD yang dibuka oleh Rendy.
Setelah selesai, Rendy lalu mendatangiku yang masih terbaring
mengangkang di ranjang.
“Jangan berontak ya, Kak! Kalau macam-macam, video kakak kusebarkan!”
ancamnya. Rendy lalu melepaskan ikatan kakiku di kedua tiang ranjang
itu. Aku disandarkan ke kepala ranjang dan Rendy menyandarkan sebuah
bantal di punggungku dan juga sebuah bantal kecil di pantatku untuk
kududuki agar aku merasa nyaman. Tali yang tadi dipakai untuk mengikat
kakiku kini digunakan untuk mengikat sikut tanganku yang masih terikat
di punggungku pada kedua tiang bagian atas ranjang canopy itu agar aku
tidak kabur.
“Oke deh! Rasanya sudah cukup!! Nah, kakak santai saja ya? Nikmati saja filmnya!” Rendy lalu memutar DVD itu.
“Mmff!!” Aku berteriak terkejut saat melihat adegan percintaan seorang
wanita berambut pirang di layar televisi itu, rupanya Rendy menyetelkan
DVD porno untuk kutonton..
“Kakak pelajari gayanya dulu, ya! Supaya nanti siap main dengan Rendy!
OK?!” Rendy tersenyum dan beranjak pergi, meninggalkanku sendiri terikat
di ranjang sambil berusaha menahan gejolak birahiku yang semakin
mendera karena suguhan adegan panas dihadapanku.
Aku pun terpaksa menonton film porno itu sekitar 2 jam. Yah, aku
memang pernah melihat sekilas film porno di handphone teman-teman SMUku,
namun mungkin karena ini pengalaman pertamaku melihat film porno selama
itu, muncul keinginanku agar vaginaku dimasuki oleh penis seperti
wanita bule yang ada di film porno itu.
Pikiranku bergejolak, aku sadar bahwa aku akan kehilangan keperawananku
apabila vaginaku dimasuki penis Rendy, namun di sisi lain, aku penasaran
akan rasa nikmat yang tampaknya melanda wanita di film itu saat
vaginanya dimasuki oleh penis. Aku juga ingin merasakan kenikmatan itu.
Apakah aku juga akan merasa senikmat itu apabila vaginaku dimasuki oleh
penis? Aku masih bisa mengingat dengan jelas rasa nikmat saat vaginaku
dijilati dan dipermainkan oleh Rendy sebelumnya. Tentunya aku akan
merasa lebih nikmat lagi apabila vaginaku dipermainkan oleh penis Rendy.
Lagipula, setidaknya aku tidak perlu khawatir akan hamil sebab masa
suburku baru saja terlewati minggu lalu.
Akhirnya rasa penasaran dan gairah seksualku mengalahkan perasaanku.
Sudah kuputuskan, aku akan melayani Rendy sepenuh hatiku. Aku sudah
tidak peduli lagi akan statusku sebagai gurunya ataupun perbedaan usia
kami, yang kini kuinginkan hanyalah mengejar kenikmatan seksualku
semata. Bahkan status dan perbedaan usia kami malah menjadi sumber
gejolak gairah seksualku.
Detik dan menit berlalu, namun bagiku yang kini dikuasai gairah
seksualku, serasa menunggu selama berhari-hari. Cairan cintaku sudah
semakin banyak keluar dari vaginaku sehingga aku bisa merasakan bantal
yang kududuki semakin basah. Akhirnya, pintu kamar itu terbuka juga dan
masuklah Rendy kedalam kamar itu.
“Bagaimana kak? Sudah puas nontonnya?”
“Sudah tahu kan bagaimana gaya-gayanya?” lanjutnya. Aku hanya mengangguk pelan dengan wajah memelas.
“Bagus, bagus!! Kakak emang pintar!” ujarnya sambil membelai kepalaku dengan pelan, seolah memuji anak kecil.
“Hff…” jawabku.
“Nah, kalau begitu kakak mau tidak kalau aku setubuhi seperti di film?”
muncullah pertanyaan yang sedari tadi kutunggu. Tanpa pikir panjang, aku
langsung mengangguk sambil melihat wajah Rendy. Namun Rendy malah
pura-pura tidak melihat sambil mematikan DVD playernya.
“Apaa? Rendy nggak bisa dengar nih!”
“Mmff!!” Aku berusaha untuk meminta Rendy melepaskan sumbatan mulutku
agar aku bisa berbicara, namun Rendy malah melepas ikatan di kedua
sikutku sehingga aku terbebas dari ranjang canopy itu. namun tanganku
masih terikat kencang di punggungku. Aku lalu dituntun turun dari
ranjang. Rendy tidak lagi mengawasiku dengan ketat. Ia tahu bahwa aku
sekarang sudah tidak ingin kabur lagi.
“Waah, udah gede masih ngompol yah, Kak?” ejek Rendy saat melihat
bekas cairan cintaku di bantal yang tadi kududuki. Aku hanya menggeleng
pelan, namun kurasa Rendy juga tahu bahwa itu adalah cairan cintaku yang
meluber karena aku terangsang sedari tadi. Rendy lalu menarikku
kehadapan sebuah papan tulis putih di kamar itu yang ditempeli berbagai
rancangan bu Diana. Rendy melepas semua rancangan itu agar papan tulis
itu bersih. Rendy juga memposisikan tubuhku agar terjepit diantara
sebuah meja dihadapanku dan papan tulis itu dibelakangku. Aku terkejut
saat Rendy dengan sigap menundukkan tubuhku di meja itu sehingga
posisiku kini menungging kearah papan tulis itu. Rendy juga menaikkan
rok gaun dan petticoatku bagian belakang dan mengaitkannya di pita putih
gaunku yang ada di pinggangku, sehingga kini pantatku terpampang jelas
menungging didepan papan tulis itu.
“Nah, gimana kalau kakak tulis saja apa yang kakak mau? Soalnya kakak
nggak bisa ngomong sekarang” ujarnya dari belakang. Aku pun semakin
heran, bagaimana caraku menulis dengan tangan terikat dan posisi tubuh
menungging seperti ini? Aku hendak berdiri, namun punggungku ditekan ke
meja itu oleh Rendy.
“Tahan sebentar ya, Kak” ujar Rendy sambil membuka celah pantatku.
Rendy lalu menuangkan lotion ke jari telunjuknya dan mengusapkan lotion
itu ke lubang pantatku. Sesaat aku merasakan jari Rendy yang menempel
dilubang pantatku bergerak pelan mengoleskan lotion itu dan aku bisa
merasakan rasa dingin dan licin akibat lotion itu di pantatku.
Setelah lubang pantatku selesai dilumuri lotion, aku merasa ada sesuatu
di lubang pantatku, aku tahu benda itu bukanlah jari Rendy karena benda
itu terasa lebih besar dan keras dari jari Rendy.
“HMMFF!!” jeritku saat tiba-tiba aku merasakan rasa sakit yang luar
biasa di lubang pantatku. Suatu benda yang panjang dan keras menekan
memasuki lubang pantatku. Aku menoleh kebelakang dan melihat Rendy
memaksakan untuk memasukkan benda itu kedalam anusku. Benda itu
diputarnya perlahan masuk kedalam pantatku seperti sekrup. Air mataku
meleleh saat merasakan rasa perih yang amat sangat saat Rendy
memperawani anusku dengan benda itu. Lubang pantatku serasa
tersayat-sayat dan rasa perihnya tak terkira.
“Wuiih… lubang pantatnya seret banget! Padahal sudah dikasih lotion!
Pasti masih perawan, nih!” komentar Rendy yang terus memutar benda itu
masuk kedalam anusku. Aku hanya bisa menggeleng-geleng keras memohon
agar Rendy menghentikan aksinya itu. Namun Rendy terus memaksakan benda
itu untuk masuk kedalam pantatku.
“Oke! Selesai deh!” seru Rendy. Aku menoleh kebelakang, aku amat
panik saat menyadari sebuah spidol berukuran besar kini tertanam didalam
pantatku. Spidol itu tampak mengacung tegak kearah papan tulis karena
posisi tubuhku yang menungging.
“Oops, tenang saja, Kak! Spidolnya sudah kumasukkan dengan baik, kok!
Kakak tahan saja spidolnya dengan otot pantat kakak supaya tidak
jatuh!” ujar Rendy. Kata-kata Rendy sama sekali tidak menenangkanku
apalagi saat merasakan spidol besar yang sedang tertanam dalam pantatku.
“Nah, ayo tulis apa yang kakak mau!”
“MMFF!!” aku menggeleng memprotes Rendy. Ide anak ini benar-benar gila!
Aku yakin dia pasti mempelajari cara ini lewat film-film pornonya untuk
mempermalukanku.
“Ayoo, kalau tidak, kakak nanti kubiarkan seperti ini, lho! Spidolnya
tidak akan kucabut kalau kakak tidak mau menurut!” ancamnya.
“Mmm…” aku memelas mendengar ancaman Rendy. Aku tahu kalau sedari awal
aku tidak memiliki posisi menawar melawan Rendy dengan kondisi seperti
ini.
“Nah! Ayo, tulis di papan tulis kak! Seperti waktu kita belajar!
Sekarang, aku mau kakak mengajariku menulis!” ujar Rendy sambil beranjak
duduk dihadapanku, seolah sedang mendengarkan pelajaran di kelas.
Aku berusaha tetap tenang dan mulai menggerakkan pantatku di papan tulis itu.
“Mmf!” aku menjerit kecil dan mataku membelalak saat ujung spidol di
pantatku menyentuh permukaan papan tulis. Pantatku terasa geli dan
sedikit perih akibat tekanan spidol itu. Rendy tampak senang melihat
ekspresi wajahku yang dipenuhi rasa panik, malu dan bingung akan
keadaanku sekarang.
Perlahan-lahan aku berusaha untuk menulis dengan pantatku di papan tulis
itu. Kaki dan pahaku ikut bergerak menaik-turunkan tubuhku yang
menungging. Aku selalu merintih setiap kali satu goresan kutulis di
papan tulis itu karena sensasi yang ditimbulkan spidol itu dalam
pantatku, yang entah bagaimana semakin membangkitkan gairah seksualku.
“Hati-hati lho, kak. Kalau terlalu ditekan, spidolnya bisa
tergelincir masuk kedalam pantat kakak. Nanti tidak bisa keluar lagi
lhoo…” sorak Rendy. Dasar badung! Pikirku. Memangnya salah siapa kalau
nanti spidol ini malah terselip masuk kedalam pantatku?! Malah sekarang
aku yang harus berusaha keras menangkal resiko yang diciptakan oleh anak
ini untuk tubuhku!
Aku pun mulai kehilangan ketenanganku akibat sorakan Rendy itu. Apalagi
sesekali aku merasa spidol itu semakin masuk kedalam pantatku saat aku
menulis. Namun aku tetap berusaha keras dan hasilnya, 5 huruf yang
acak-acakan tertulis di papan tulis itu. Aku menghela nafas lega saat
aku melihat hasil tulisanku itu. Sulit untuk dibaca memang, bahkan aku
yakin tulisan anak SD pasti jauh lebih mudah dibaca dari tulisanku;
namun aku yakin telah menulis huruf P-E-N-I-S di papan tulis itu.
“Waah, tulisan kakak jelek sekali! Padahal katanya sudah kuliah!”
kembali Rendy mempermalukan diriku. Ia lalu berjalan kehadapanku,
melepas lakban mulutku dan menarik keluar celana dalamku yang sedari
tadi telah menjejali mulutku.
“Ahh… ohk… ohkk…” Aku terbatuk-batuk dan menghela nafas lega. Kulihat
Rendy sedang mengendusi celana dalamku yang basah karena ludahku dan
sesekali ia menghisap-hisap ludahku yang membasahi celana dalamku itu.
“Hmmm… ludahnya kakak memang enaak… Nah sekarang coba kakak baca apa yang kakak tulis!”
“Pe… penis…” ujarku pelan dengan perasaan yang amat malu.
“Apaa? Apa yang kakak mau?” tanyanya dengan nada mengejek, seolah tidak mendengar ucapanku barusan.
“Penis!!” jawabku tidak sabaran.
“Penis siapa, hayooo?”
“Penisnya Rendy!!” aku mengumpulkan seluruh keberanianku untuk meneriakkan kata itu dan akhirnya terucap juga.
“Iya deh! Nah, tahan sebentar ya, Kak!” Rendy lalu berjalan
kebelakang tubuhku yang masih menungging. Aku bisa merasakan ia memegang
spidol yang tertanam dalam pantatku. Perlahan-lahan ditariknya spidol
itu keluar dari pantatku.
“Aww… auuch…” rintihku pelan saat merasakan gesekan batang spidol itu
di permukaan lubang pantatku yang rasanya sedikit sakit, namun agak
geli juga. Apalagi saat aku mengejan, pantatku terasa semakin nikmat
dengan tekanan itu.
PLOOP! Terdengarlah suara lepasnya spidol itu dari pantatku.
“AAHH!!” Sontak aku berteriak merasakan kelegaan yang kembali ke lubang
pantatku setelah sekian lama disumbat. Namun, sebelum aku sempat berdiri
dan merasakan kelegaan, Rendy segera menarik dan menghempaskan tubuhku
ke ranjang canopy itu sehingga aku kembali terbaring diatas ranjang.
“Aduh!” Aku segera berusaha bangkit, namun Rendy segera menerkam dan menimpa tubuhku.
“Jangan bergerak Kak!” perintahnya. Entah bagaimana, aku segera menuruti
perintah Rendy dan mulai merelakan tubuhku dipermainkan olehnya.
“Sekarang kakak kupanggil pakai nama saja ya? Erina…” pintanya manja.
“I, iya… terserah kamu…” jawabku dengan wajah memerah saat menatap wajah Rendy yang ada tepat diatas wajahku.
“Ah!” aku menjerit kecil saat Rendy mencengkeram dan meremas-remas
dadaku. Tangan kanannya menekan payudaraku dengan perlahan dan
mencubitnya dengan lembut, sementara tangan kirinya menyibakkan
rambutku. Rendy lalu mendekatkan wajahnya dan mencium pipiku.
“Erina, kamu wangi deh!” pujinya seraya melayangkan kecupan ke bibirku yang segera kubalas.
Rendy lalu duduk bersimpuh diatas ranjang itu dan memangku kepalaku
diatas pahanya. Rendy kembali menjamah payudaraku, namun kali ini ia
mengulurkan tangannya menyusupi bagian dada gaunku. Jari-jarinya
menjalar pelan diatas payudaraku sambil mencari puting payudaraku. Aku
merasa agak sesak karena aku masih memakai BH, namun itu tidak
menghalangi jari-jari nakal Rendy untuk mempermainkan dadaku.
“Aw!” aku merasakan puting payudaraku disentuh oleh jari Rendy. Rendy
segera memencet putingku sehingga aku merasa seperti tersetrum oleh
listrik di sekujur dadaku.
“Ahh…” desahku pelan saat Rendy kembali meremas payudaraku. Payudaraku
digerakkan berputar pelan oleh jari Rendy sambil sesekali memencet
putingku. Aku semakin terhanyut saat Rendy menyentil-nyentil puting
payudaraku dengan kukunya yang agak panjang ataupun saat memencet puting
susuku dengan kuku jempol dan jari telunjuknya. Saraf-saraf tubuhku
kini semakin sensitif karena aku semakin terangsang dengan pijatan di
payudaraku. Kakiku mulai menggeliat-geliat pelan dan aku bisa merasakan
cairan cintaku kembali meluber dari vaginaku.
Rendy yang melihat pergerakan-pergerakan terangsang tubuhku,
mengentikan aksinya. Kini ia kembali bergerak kearah selangkanganku. Ia
lalu duduk dihadapan tubuhku yang masih terbaring
“Nah, Erina. Ayo buka pahamu. Yang lebar ya!” aku merentangkan kakiku
selebar mungkin dihadapan Rendy. Ia tersenyum melihat aku yang tidak
menolak perintahnya lagi. Rendy lalu mengamati selangkanganku. Bagaimana
kewanitaanku yang masih basah oleh cairan cintaku dan lubang pantatku
yang terbuka sedikit setelah diperawani spidol, terhidang di hadapannya.
Rendy mencolek vaginaku dan mencicipi cairan cintaku yang ada di
jarinya. Rendy kembali membenamkan jarinya dengan pelan di celah
vaginaku, jarinya bergerak lembut seolah mencari sesuatu.
“Aww…” desahku pelan saat jari telunjuk Rendy menyentuh klitorisku.
Rendy yang akhirnya menemukan apa yang dicarinya dalam liang vaginaku
tampak kegirangan. Jarinya segera menyentil-nyentil klitorisku.
Akibatnya, bisa ditebak, aku kembali melayang kelangit ketujuh. Aku
merintih-rintih keenakan dihadapan muridku yang kini sedang memainkan
gairah seksualku.
“Aahh… ohh… aww…” desahanku semakin keras dan akhirnya tubuhku
kembali serasa akan meledak. Punggungku melengkung bagai busur dan
kakiku kembali menegang, siap untuk menyambut orgasmeku untuk yang kedua
kalinya. Namun, Rendy yang tahu bahwa aku akan orgasme segera mencabut
jarinya keluar dari liang vaginaku; otomatis, kenikmatan yang sebentar
lagi akan kucapai lenyap seketika.
“Rendyy… jahaat… ayo lagiii…” pintaku memohon pada Rendy.
“Apanya yang lagi, Erina?” tanyanya seolah tidak mengerti.
“Ayoo… mainin vagina Erinaa… Erina sukaa…” jawabku seperti seorang pelacur rendahan.
“Suka apa?”
“Erina suka kalau vagina Erina dimainin Rendy… ayo doong… Erina mau
orgasme lagii… enaak…” kembali aku mempermalukan diriku sendiri. Aku
sudah tidak bisa berpikir lagi karena tubuhku sudah sepenuhnya dikuasai
dorongan seksualku yang sudah diambang batas.
“Panggil aku “Sayang”! Kan kamu sudah jadi pengantinku!” perintah Rendy
“Iyaa… Rendy sayaang… ayoo…” entah bagaimana aku terjebak dalam
permainan psikologis Rendy. Aku sekarang bertingkah seolah-olah dia
adalah suamiku yang sah. Aku agak terkesan karena walaupun masih begitu
muda, Rendy sudah tahu bagaimana menjalankan trik psikologis untuk
mempengaruhiku agar menuruti permintaannya, mungkin ini juga pengaruh
dari video pornonya. Namun kuakui, permainan psikologis ini semakin
membangkitkan gairahku dan aku amat menikmatinya! Sekarang hubungan kami
bukan lagi seperti seorang murid dan guru, namun lebih seperti sepasang
pengantin baru.
“Nah, Erina. Boleh tidak kalau Rendy memasukkan ‘adik kecil’ ke memek Erina?”
“Boleh sayang… Erina kan pengantinnya Rendy…” selorohku. Aku sekarang
sudah rela memberikan keperawananku untuk Rendy. Lagipula mulut dan
pantatku kini sudah tidak perawan lagi, jadi tidak ada salahnya kalau
aku sekalian merelakan kesucianku kepada Rendy. Aku pun menarik rok
gaunku hingga ke perutku sehingga kewanitaanku terpampang jelas sekali
dihadapan Rendy.
“Ayo sayang. Erina mau orgasme lagi…” aku memohon pada Rendy. Rendy
segera merespon dengan duduk dihadapan selangkanganku dan mengatur
posisi tubuh kami sehingga penisnya sekarang berada di bibir
kewanitaanku. Aku bisa merasakan penisnya yang kembali membesar seperti
saat aku mengoralnya barusan menyentuh celah vaginaku. Aku menghela
nafas, menyiapkan diriku untuk menerima kenyataan bahwa keperawananku
akan direnggut sesaat lagi. Aku berusaha mengatur nafasku yang memburu
untuk mengusir rasa takut dan cemas akibat degup jantungku yang amat
kencang.
“Bagaimana, Erina? Sudah siap?” aku mengangguk pelan menjawab pertanyaan Rendy akan kesiapanku.
“Rendy… yang pelan ya? Jangan kasar…” pintaku kembali. Aku tidak ingin
Rendy memperawaniku seperti sebuah pemerkosaan, yang kuinginkan hanya
agar aku bisa diperlakukan lebih lembut. Maklumlah, ini juga merupakan
pengalaman pertamaku yang pasti akan berkesan seumur hidupku. Untunglah,
Rendy tampaknya mengerti akan perasaanku. Ia mengangguk dan sorot
matanya seolah menenangkanku.
Rendy mulai mendorong pinggangnya ke depan. Sesaat penisnya berhasil
membelah bibir vaginaku, namun mungkin karena vaginaku licin akibat
cairan cintaku, penis Rendy malah meleset keluar dari celah vaginaku.
Mengakibatkan timbulnya suara tertahan dari mulutku. Rendy kembali
berusaha, namun tampaknya agak susah baginya untuk memasukkan penisnya
kedalam vaginaku karena diameter penisnya juga cukup lebar (walaupun
masih kalah dengan penis yang kulihat di film porno barusan), apalagi
aku juga masih perawan sehingga liang vaginaku masih sempit.
Setelah beberapa kali berusaha, Rendy tampak kesal karena belum
berhasil memperawaniku. Akhirnya ia meraih batang penisnya dan
mengarahkannya tepat dihadapan celah bibir kewanitaanku. Tangannya masih
kuat mencengkeram penisnya saat ia sekali lagi menggerakkan pantatnya
ke depan dan…
“AAGH!!!” aku membelalak dan menjerit keras saat merasakan rasa ngilu
dan perih yang amat hebat melanda vaginaku. Akhirnya selaput daraku
robek dan keperawananku sekarang lenyap sudah terenggut oleh Rendy. Aku
bisa merasakan penis Rendy yang kini terjepit di vaginaku dan ujung
penisnya didalam lubang pipisku. Rendy kembali memajukan pinggulnya
dengan pelan, mengakibatkan rasa sakit itu semakin mendera vaginaku.
Bahkan rasanya jauh lebih sakit daripada saat pantatku diperawani oleh
spidol barusan.
“Rendy, Rendy!! Sakit! Sebentar!! Aduuh!!” aku kembali meminta dengan
panik pada Rendy. Air mataku meleleh akibat rasa perih itu.
“Sebentar, Erina. Tenang ya, sebentar lagi…” jawab Rendy sambil
mendorong pinggangnya dengan pelan. Penisnya semakin dalam memasuki
vaginaku diiringi dengan jeritan piluku yang tersiksa oleh rasa sakit
itu. Kepalaku terbanting kekiri-kanan menahan rasa sakit, seolah menolak
penetrasi Rendy kedalam lubang vaginaku.
“Ohh…” Rendy melenguh dan menghentikan dorongannya. Aku bisa
merasakan sepasang buah zakarnya bergelantungan di bongkahan pantatku
dan paha kami yang sekarang saling bersentuhan.
“Hhh…” aku mengambil nafas sejenak merasakan rasa sesak di vaginaku
akibat besarnya penis Rendy didalam lubang pipisku. Aku akhirnya sadar
kalau sekarang ini seluruh penis Rendy sudah terbenam sepenuhnya didalam
kewanitaanku. Rambut-rambut kemaluannya yang baru tumbuh juga
menggelitik selangkanganku. Untuk beberapa saat, kami terdiam dalam
posisi itu. Rendy memberiku waktu untuk menyesuaikan diri dengan
keadaanku.
“Erina…” panggil Rendy pelan.
“Ya?”
“Hangat sekali rasanya didalam. Kamu lembut sekali, Erina…” pujinya. Aku
tidak bisa merespon jelas karena rasa perih yang menyiksa ini, namun
bisa kulihat kalau Rendy tampak mencemaskan keadaanku.
“Sakit ya?” tanyanya penuh perhatian
“I, iya, sakit sekali…” jawabku pelan.
“Sekarang kita sudah bersatu lho, Erina. Aku dan kamu sekarang jadi
satu…” Aku mengangguk membenarkan pernyataan Rendy. Memang, sekarang
tubuh kami sudah bersatu karena kemaluan kami masing-masing telah
menyatukan tubuh kami.
“Rendy… sakiit…” protesku pada Rendy. Rendy terdiam, ia hanya mengusap air mataku.
“Sabar ya, Erina? Sebentar lagi pasti enak kok!”
Rendy lalu menarik penisnya sedikit vaginaku dan dengan pelan
dilesakkannya kembali kedalam liang vaginaku. Rasa pedih kembali
menyengat vaginaku, namun Rendy selalu berusaha menenangkanku. Aku
merasa tampaknya Rendy juga tahu bagaimana sakitnya saat seorang gadis
diperawani untuk pertama kalinya karena ia selalu berusaha memompa
penisnya selembut mungkin untuk mengurangi rasa sakitku.
Lama kelamaan, muncul rasa nikmat dari vaginaku akibat gerakan penis
Rendy. Walaupun masih bercampur dengan rasa perih, aku bisa merasakan
bahwa sensasi baru ini berbeda dari saat vaginaku dioral dan
dipermainkan oleh jari Rendy. Sensasi ini lebih menyentuh sekujur
syarafku.
Rendy kembali membelai pahaku sambil menjilatinya pelan sehingga gairah
seksualku kembali bangkit perlahan. Rasa perih itu semakin hilang dan
digantikan dengan sensasi baru di tubuhku. Rasa geli, sakit dan sesak
yang melanda vaginaku memberikan sensasi tersendiri yang mengasyikkan.
Rendy yang melihat bahwa aku sudah terbiasa akan pergerakannya mulai
leluasa mengatur gerakannya. Sekarang penisnya ditarik keluar hingga
hanya tersisa pangkal penisnya saja dalam vaginaku otomatis bibir
vaginaku ikut tertarik keluar. Tiba-tiba, Rendy mendorong pantatnya
mendadak dengan cepat sehingga penisnya kembali menghunjam liang
vaginaku dengan keras.
“Hyahh…” jeritku kaget, namun sekarang rasanya tidak lagi perih seperti
tadi. Rendy mulai menggerakkan penisnya dengan tempo yang lebih cepat,
membuatku akhirnya melenguh-lenguh nikmat merasakan sensasi di vaginaku.
“Oohh…ahhh….aahh…aakhh…” aku mendesah-desah keenakan saat penis Rendy
menghunjam vaginaku. Sesekali Rendy berhenti menggerakkan pinggangnya
saat penisnya tertanam penuh dalam vaginaku dan mulai
menggoyang-goyangkan pantatnya sehingga penisnya seolah mengaduk-aduk
isi liang vaginaku, membuatku semakin melayang diatas awan kenikmatan
seksual.
Semakin lama, kurasakan tempo goyangan penis Rendy semakin cepat
keluar-masuk vaginaku dan menggesek klitorisku saat memasuki vaginaku.
Tubuhku juga berguncang mengikuti irama pompaan penis Rendy seiring
dengan desahan-desahan erotis dari bibirku. Malah, saat Rendy
menghentikan gerakan penisnya, secara otomatis aku menurunkan pinggulku
menjemput penisnya, seolah tidak rela melepaskan penisnya itu. Rendy
terlihat puas melihatku yang sekarang sudah berhasil ditaklukkan
olehnya.
Tidak terasa sudah sekitar 10 menit sejak penis Rendy memasuki
vaginaku pertama kalinya. Rendy masih dengan giat terus menggerakkan
penisnya menjelajahi vaginaku. Sementara aku sendiri sudah kewalahan
menerima serangan kenikmatan di vaginaku, orgasmeku sudah siap meledak
kapan saja.
“OH! AAKHHH…!!!” akhirnya aku menjerit keras dan tubuhku
terbanting-banting saat aku merasakan gelombang kenikmatan yang melanda
seluruh simpul syarafku, mengiringi ledakan orgasmeku untuk kedua
kalinya. Tanpa bisa kukontrol, kakiku menendang bahu Rendy sehingga
Rendy terpelanting ke ranjang. PLOP! Otomatis terdengar suara pelepasan
penisnya yang tercabut keluar dari vaginaku seiring dengan rebahnya
tubuh Rendy di ranjang. Cairan cintaku yang hangat kembali terasa meluap
dari celah kewanitaanku. Rendy bergerak menjauh sedikit membiarkan
tubuhku bergerak liar meresapi kenikmatan orgasme yang saat ini
kurasakan.
Setelah merasakan ledakan orgasme itu, tubuhku kembali melemas,
serasa tenagaku lenyap seluruhnya. Nafasku terasa berat dan degup
jantungku juga masih saja kencang. Rendy membiarkanku beristirahat
sesaat untuk mengembalikan staminaku.
“Waah, nggak nyangka nih! Padahal tampangnya alim, tapi rupanya Erina memang galak kalau orgasme!” Rendy menggodaku .
“Gimana? Enak nggak rasanya?” tanyanya padaku. Aku mengangguk pelan sambil tersenyum kecil.
“Mau lagi?” kembali Rendy bertanya menantangku.
“Mau…” jawabku mengiyakan.
“Nah, sekarang ikut aku kak!” Rendy menarik tanganku turun dari
ranjang dan melepas ikatan kedua tanganku. Aku lalu digandengnya
kehadapan meja rias bu Diana. Meja rias itu delengkapi sebuah cermin
besar sehingga aku bisa melihat penampilanku dengan jelas dihadapan
cermin itu.
“Erina, sekarang coba kamu menungging!” aku pun membungkukkan badanku
dan menumpukan tubuhku pada kedua lenganku yang menekan meja rias bu
Diana, sehingga aku dalam posisi menungging dihadapan cermin meja rias
itu.
“Lebarkan pahamu dan coba lebih menunduk!” kembali Rendy memberi
perintah yang segera kuturuti, pahaku kulebarkan dan aku semakin
menunggingkan tubuhku. Rendy lalu menyingkapkan rok gaunku dan menaikkan
petticoatku dari belakang dan menjepitnya dengan pita gaunku, sehingga
kembali pantat dan vaginaku terpampang jelas dihadapannya. Rendy lalu
berdiri dibelakangku, aku bisa melihat tubuhnya yang berdiri dibelakang
pantatku lewat cermin itu. Tampaknya Rendy memang ingin agar aku bisa
melihat keadaan sekitarku lewat cermin itu.
“Auuch…” aku merintih pelan saat penis Rendy kembali menghunjam
vaginaku dari belakang. Sekarang Rendy memegang pinggulku dan
menggerakkannya maju mundur sehingga vaginaku dihentak-hentakkan oleh
penisnya.
“Aw… aakhh… aawww…” rintihku saat gesekan antara kemaluan kami
kembali menimbulkan sensasi kenikmatan yang melanda tubuhku. Suara
beturan tubuh kami juga menggema didalam kamar itu mengikuti
desahan-desahan yang keluar dari bibirku.
“Erina, coba kamu lihat cermin.” Perintah Rendy sambil terus
memompaku. Aku menatap cermin dan aku bisa melihat ekspresi wajah
cantikku yang tampak dilanda kenikmatan di tubuhku. Aku bisa melihat
mataku yang sayu dan bibirku yang megap-megap berusaha mencari nafas dan
melontarkan desahan-desahanku.
“Apa yang kamu lihat di cermin itu?” tanyanya
“Erina… aakh… Erina jadi… pengantin… Rendy… auuhh…” jawabku terbata-bata.
“Oh ya? Apa yang sedang dilakukan Erina, pengantin Rendy itu?”
“Oohh… Erina… Erina sedang disetubuhi… aww… Rendy… ahh…”
“Bagaimana menurutmu, penampilanmu sekarang?”
“Erina… Erina jadi… aww… cantik sekali… Erina… suka… gaun Erina… juga… ahh… indah…”
“Erina senang tidak jadi pengantin?” ujar Rendy.
Aku hanya menganggukkan kepalaku merespon pertanyaan Rendy karena
mulutku sekarang sedang sibuk mendesah penuh kenikmatan. Memang dengan
penampilanku sebagai pengantin saat ini, aku tampak cantik sekali. Saat
aku melihat wajah cantikku itu tampak dikuasai oleh gairah seksualku,
entah kenapa aku semakin terangsang. Apalagi saat aku melihat diriku
yang sedang disetubuhi dari belakang oleh Rendy, dalam balutan busana
pengantinku yang indah, gairah seksualku semakin meningkat drastis.
“Oouch… ahhh…aww…” aku berusaha menggapai orgasmeku, namun Rendy
malah berusaha bertahan agar aku tidak mencapai orgasmeku dengan cepat.
Sesekali gerakannya dipercepat, namun saat merasakan aku akan mencapai
orgasmeku, ia segera menghentikan serangan penisnya di vaginaku.
Akibatnya siksaan orgasmeku semakin mendera tubuhku.
“Rendyy… kamu jahaat… auuch… Erina mau orgasmee…hyaah…” aku memprotes perlakuan Rendy padaku.
“Iyaa… soalnya Erina kan sudah orgasme dua kali! Rendy juga mau! ”
balasnya. Memang benar, dari tadi Rendy terus memberi pelayanan yang
membuatku mencapai orgasme dua kali, namun dia sendiri hanya sekali
berejakulasi dalam mulutku.
Tiba-tiba, Rendy menghentikan gerakannya, sehingga aku mendesah
tertahan sejenak. Aku cemas karena tampaknya Rendy tidak berminat lagi
meneruskan pompaannya.
“Sekarang, giliran Erina yang gerak, ya?” pinta Rendy yang segera
kurespon dengan senang hati. Goyangan maju-mundur pantatku pun menjemput
dan mempermainkan penisnya dalam vaginaku. Aku merasa lega karena
setidaknya vaginaku masih bisa merasakan kenikmatan dari persetubuhanku
dengan Rendy.
“Erina, ayo lihat cerminnya lebih dekat!” kembali aku menuruti perintah
Rendy. Wajahku kudekatkan pada cermin itu sehingga cermin itu mengembun
akibat hembusan nafasku. Aku bisa melihat pantatku yang kini bergerak
maju-mundur dan ekspresi nikmat di wajah Rendy.
“Erina suka lihat cerminnya?”
“Iyaa… wajah Erina cantiik… eeghh… dan nakaal…”
“Jadi, Erina cewek yang nakal yaa?” tanyanya sedikit menggodaku sambil menghentakkan penisnya secara tiba-tiba di vaginaku.
“Aww… iyaa… Erina memang nakaal…” celotehku tanpa pikir panjang.
“Bagaimana, rasanya enak tidak dientot, Erina?”
“Mmm… aah…enaak… nikmaaat… Erina sukaa…”
“Kalau begitu, boleh kan kalau Rendy mengentoti Erina lagi?” selorohnya.
“Boleeh… Erina… auuh… boleh dientot Rendy… kapaan saja… Erina kan… sudah
jadi… pengantin Rendy… oh…” jawabku yang sekarang sudah sepenuhnya
takluk oleh Rendy.
“Kalau begitu, Erina tidak boleh selingkuh dengan orang lain ya?”
“Iyaa… ooh… Rendy sayaang… Erina cuma mau dientot Rendy sajaa… nggak mau
sama cowok laiin…” secara otomatis aku menyatakan kesetiaanku pada
Rendy.
Rendy terus mempermainkan mentalku sambil mempermalukanku. Anehnya,
dipermalukan sedemikian rupa, malah semakin merangsangku dan aku semakin
mempercepat gerakan pantatku walaupun sendi-sendi paha dan pinggangku
terasa ngilu akibat kelelahan. Akhirnya Rendy mencengkeram pinggulku dan
menghentikan pergerakanku.
“Rendyy… kenapaa?” tanyaku penuh kekecewaan.
“Sekarang giliranku ya, Erina?” aku hanya mengangguk pelan mengiyakan
permintaan Rendy. Ada untungnya juga bagiku karena tubuhku sudah amat
lelah dan aku juga merasa aku tidak bisa melanjutkan gerakanku lebih
lama lagi.
Rendy kembali menggerakkan pinggulku maju-mundur dengan cepat
sehingga aku semakin kewalahan. Dengan nakalnya, Rendy melesakkan jari
telunjuknya kedalam lubang pantatku. Tidak seperti tadi, anusku yang
sekarang sudah amat becek akibat lelehan cairan cintaku yang sekarang
juga meluber ke anusku. Lubang pantatku dengan mudahnya menelan jari
telunjuk Rendy sehingga kembali rasa perih yang sedikit nikmat melanda
anusku. Jari telunjuk itu lalu digerakkan seirama dengan gerakan
penisnya di vaginaku sehingga aku semakin tenggelam dalam kenikmatanku.
Desahan-desahanku semakin keras karena sensasi di selangkanganku saat
ini dimana penis Rendy masih terbenam dalam vaginaku, sementara jari
telunjuknya berputar-putar menjelajahi isi pantatku apalagi saat jarinya
mempermainkan saraf di sekitar lubang pantatku. Saat aku mengejan,
Rendy malah semakin memasukkan jarinya lebih dalam kedalam pantatku
sehingga sensasi rasa geli dan sakit di anusku kian menjadi. Aku semakin
kewalahan dengan rasa nikmat yang datang menguasai tubuhku apalagi aku
bisa merasakan otot-otot tubuhku yang menegang lebih keras dari
sebelumnya, aku mengepalkan tanganku dengan keras menahan desakan dari
dalam tubuhku. Namun sekuat-kuatnya aku berusaha menahan diri, akhirnya
pertahananku runtuh juga.
“Ahhk… aah… AKHHH!!!” dengan diiringi teriakanku, orgasmeku kembali
meledak. Aku merasakan vaginaku berdenyut keras seolah menyempit dan
penis Rendy semakin terjepit erat di dinding kewanitaanku. Tubuhku
langsung dialiri oleh ledakan rasa nikmat dan kelegaan yang luar biasa.
“OOKH… Erinaa…” Merasakan sensasi jepitan vaginaku saat orgasme,
Rendy akhirnya tidak bisa menahan dirinya. Sekali lagi dihentakkannya
penisnya sekeras mungkin kedalam vaginaku dan saat itu pula aku
merasakan cairan hangat menyembur dari penis Rendy memenuhi rahimku.
Rendy pun mencabut jarinya dari lubang pantatku sebelum menarik penisnya
keluar dari vaginaku setelah spermanya telah tertuang sepenuhnya
kedalam rahimku.
Aku tidak tahan lagi melawan rasa lelah tubuhku. Setelah mencapai
orgasmeku itu tubuhku serasa kehilangan seluruh tenagaku. Aku pun jatuh
lunglai tanpa tenaga di lantai kamar bu Diana.
Rendy menghampiriku yang masih tergeletak lelah dan mencium bibirku
sekali lagi dengan lembut sambil melumat bibirku. Aku menggerakkan
bibirku membalas kecupan Rendy dengan pelan sebelum rasa lelah
mengalahkanku sehingga aku pun tertidur kelelahan.
Aku terbangun saat kurasakan sentuhan lembut di pipiku. Saat aku
membuka mataku, aku melihat Rendy sedang duduk disampingku yang kini
terbaring di ranjang bu Diana. Aku masih berbusana pengantin lengkap
seperti sebelumnya. Melihatku yang terbangun, Rendy segera membelai
kepalaku dengan penuh kasih sayang. Aku merasa terkesan dengan
perhatiannya, belaiannya terasa lembut melindungiku seolah menjawab
perasaanku sebagai seorang wanita yang ingin dilindungi dan diperhatikan
oleh seorang kekasih. Akhirnya kusadari kalau aku telah jatuh cinta
pada Rendy.
Walaupun bisa disebut sebagai cinta terlarang antara guru dan murid,
namun bagiku hal itu sekarang bukan lagi hambatan bagiku. Aku hanya
ingin agar bisa bersama dengan Rendy selama mungkin. Lagipula, dialah
yang telah membuatku menjadi pengantinnya dan merenggut keperawananku
yang tadinya kujaga dengan baik demi calon suamiku dimasa depan. Jadi,
wajar saja kalau dia berhak menerima cintaku.
“Erina, kamu akhirnya bangun juga…” panggil Rendy pelan.
“Ya, sayang…” jawabku manja sambil melihat wajahnya.
“Kamu suka tidak sama Rendy?” tanyanya dengan mimik cemas.
“Erina cinta Rendy kok! Erina mau jadi pengantin Rendy selamanya!” jawabku mantap.
“Benar?” tanyanya dengan ragu.
“Iyaa… kan Erina sudah jadi pengantin Rendy? Niih lihaat!” jawabku nakal
sambil memamerkan gaun pengantinku. Rendy tersenyum melihat tingkahku
itu dan ia segera mencium bibirku. Sekali lagi kami berciuman diatas
ranjang itu dan kali ini, tidak ada paksaan atas diriku untuk memadu
kasih dengan Rendy. Perasaanku terhadap Rendy telah berubah seluruhnya
menjadi perasaan cinta sepenuh hatiku. Sekarang aku adalah seorang
pengantin wanita bagi seorang lelaki yang telah berhasil menaklukkan
hatiku dengan kehebatannya bercinta denganku. Rendy juga tampak bahagia
karena berhasil menjadikanku sebagai kekasih hidupnya. Ya, sekarang aku
telah menjadi pengantin muridku, Rendy!
TAMAT