7 Kekeliruan dalam Penilaian Kerja
Berdasarkan teori-teori yang
dikemukakan para teoris psikologi terapan, pakar perilaku organisasi dan
kinerja individu di organisasi, seperti Nisbett & Wilson (1977),
maupun oleh Frank E. Saal, Ronald G. Downey, dan Mary Anne Lahey (1980),
ada beberapa kekeliruan penilaian kinerja yang berpeluang dilakukan
pada pemberi nilai (atasan atau supervisor) antara lain:
1. Efek halo.
Kecenderungan menilai kinerja hanya berdasar kesan pertama yang diperoleh. Misal, bila pada awalnya anak buah menampilkan kinerja baik, maka supervisor cenderung menilai baik selamanya.
2. Prasangka pribadi.
Misal, karena pernah mengalami suatu pengalaman buruk dengan anak buahnya, maka hal ini terus menerus diingat, berakibat atasa menilai buruk kerja bawahan untuk selamanya.
3. Kecenderungan nilai-tengah.
Kecenderungan memberi nilai "cukup" pada setiap aspek kerja, sebagai "nilai aman", hingga kurang tajam menilai aspek kelebihan anak buah. Berdampak anak buah senantiasa dinilai "cukup-cukup" saja.
4. Kecenderungan terlalu murah hati.
Cenderung menilai terlalu tinggi, hingga kurang menampilkan kapasitas sesungguhnya dari anak buah.
5. Adanya perbedaan budaya.
Misal, budaya berpandangan bahwa nilai C (cukup) adalah kurang baik, sementara nilai B (baik) atau SB (sangat baik) adalah baik. Sehingga supervisor tertentu cenderung memandang kurang baik, atas kinerja seorang anak buah yang mendapat nilai C dari supervisor sebelumnya.
6. Efek kekinian.
Kecenderungan menilai kinerja anak buah berdasarkan pengalaman terkini atau pengalaman terakhir saat supervisor berinteraksi dengan anak buah. Dampaknya, bila yang diingat adalah kinerja yang kurang menyenangkan, maka untuk seterusnya kinerja anak buah tersebut bisa di-cap kurang menyenangkan.
7. Stereotip.
Aspek kesamaan budaya, ras, usia, jenis kelamin, dan aspek mendasar lain, memungkinkan supervisor memberi penilaian yang lebih baik pada anak buah yang memiliki kesamaan latar belakang dengan dirinya, dibanding anak buah lain yang memiliki latar belakang berbeda dengan dirinya.
(Majalah Chic/Narasumber: Donna Turner, Praktisi Sumber Daya Manusia Experd)
sumber
1. Efek halo.
Kecenderungan menilai kinerja hanya berdasar kesan pertama yang diperoleh. Misal, bila pada awalnya anak buah menampilkan kinerja baik, maka supervisor cenderung menilai baik selamanya.
2. Prasangka pribadi.
Misal, karena pernah mengalami suatu pengalaman buruk dengan anak buahnya, maka hal ini terus menerus diingat, berakibat atasa menilai buruk kerja bawahan untuk selamanya.
3. Kecenderungan nilai-tengah.
Kecenderungan memberi nilai "cukup" pada setiap aspek kerja, sebagai "nilai aman", hingga kurang tajam menilai aspek kelebihan anak buah. Berdampak anak buah senantiasa dinilai "cukup-cukup" saja.
4. Kecenderungan terlalu murah hati.
Cenderung menilai terlalu tinggi, hingga kurang menampilkan kapasitas sesungguhnya dari anak buah.
5. Adanya perbedaan budaya.
Misal, budaya berpandangan bahwa nilai C (cukup) adalah kurang baik, sementara nilai B (baik) atau SB (sangat baik) adalah baik. Sehingga supervisor tertentu cenderung memandang kurang baik, atas kinerja seorang anak buah yang mendapat nilai C dari supervisor sebelumnya.
6. Efek kekinian.
Kecenderungan menilai kinerja anak buah berdasarkan pengalaman terkini atau pengalaman terakhir saat supervisor berinteraksi dengan anak buah. Dampaknya, bila yang diingat adalah kinerja yang kurang menyenangkan, maka untuk seterusnya kinerja anak buah tersebut bisa di-cap kurang menyenangkan.
7. Stereotip.
Aspek kesamaan budaya, ras, usia, jenis kelamin, dan aspek mendasar lain, memungkinkan supervisor memberi penilaian yang lebih baik pada anak buah yang memiliki kesamaan latar belakang dengan dirinya, dibanding anak buah lain yang memiliki latar belakang berbeda dengan dirinya.
(Majalah Chic/Narasumber: Donna Turner, Praktisi Sumber Daya Manusia Experd)
sumber