Unique, 2 Desa Gigolo dari Jawa Tengah ini Sempat Hebohkan Dunia Maya
Di desa-desa daerah tertentu, ada kegiatan bisnis gigolo keliling.
Terang-terangan menawarkan jasanya keliling dari desa ke desa. Biasanya
berkeliling menggunakan truk bak L-300 atau seukurannya. Ada satu atau
dua gigolo dan seorang mucikari (umumnya laki-laki) sebagai manajer.
Keliling dari kampung ke kampung menawarkan jasa bila ada yang
membutuhkan. Masyarakat yang merasa tidak membutuhkan, cuek saja, acuh
tidak memperhatikan. Jadi tidak bikin geger, kan?
Setiap transaksi tidak mahal bayarnya. Kisaran limapuluh ribu rupiah. Kok murah? Lho, di desa kok. Di desa pelosok, beli nasi gudeg lauk telur cukup duaribu limaratus rupiah masih bisa. Dan limapuluh ribu berapa kali transaksi sehari, kan banyak juga untuk ukuran kehidupan desa. Pekerjaannya juga nikmat untuk gigolonya. Yakin, nikmat. Yang melakoni saja tidak mengeluh, yang membaca tidak perlu heran, hehehe...
Satu kali transaksi diukur dari satu kali ejakulasi. Maaf pakai istilah kedokteran di kanal budaya ini.
Desa Bakulan dan Desa Cabean di lereng gunung Merbabu dan Merapi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah belakangan ini semakin populer di telinga para netizen.
Bagaimana tidak, dua desa tersebut telah mendapat julukan desa gigolo. Julukan tersebut memang bukan tanpa alasan, di sana banyak remaja pria yang usianya di bawah 20 tahun telah menjajakan dirinya sebagai pekerja seks komersial atau gigolo. Namun demikian, warga di kedua desa tersebut ternyata tidak tahu-menahu soal pemberitaan yang beredar.
Salah satu warga Desa Bakulan, Sumardi mengatakan, "Gigolo niku nopo to mas (Gigolo itu apa mas)? Kulo kok mboten nate mireng (saya kok belum pernah dengar)?" Setelah mendapat penjelasan ia kemudian mengatakan, "Wah mboten enten mas, mriki mboten enten pemuda sing nakal kok, (wah tidak ada mas, di sini tidak ada pemuda yang nakal)."
Sementara menurut kepolisian setempat, memang ada beberapa pemuda yang menjadi gigolo, namun hal itu sudah berlalu sejak tahun 2010 atau 2012 lalu. Salah seorang di sana mengatakan, "Memang dulu ada mas, anak-anak muda di sini yang putus sekolah, terus gak mau kerja yang berat. Tiap hari ke kafe di Bandungan, Semarang sana. Dandannya perlente, pulang-pulang bawa uang, pamer. Iki lho golek duit gampang, tinggal neng kafe, dolan karo tante-tante, pulang bawa uang banyak." Pria yang tak disebut namanya ini bahkan juga menyebutkan beberapa nama remaja yang dulunya berprofesi gigolo.
Kendati demikian, sejak tahun 2012 para pemuda sudah mempunyai pekerjaan tetap dan hingga kini tidak ada lagi yang namanya gigolo di dua desa tersebut. "Dulu itu mungkin cari kerjaan susah mas. Sehingga banyak yang aneh-aneh. Tapi sekarang banyak pabrik, banyak proyek di luar, jadi masyarakat sini khususnya pemuda, semua berkarya," tambahnya. Kanit Sabhara Polsek cepogo Boyolali, Aiptu Budi Sri Widodo tak menampik kabar adanya desa gigolo tersebut.
Dia membenarkan, jika dulu ada beberapa pemuda pengangguran di kedua desa yang berprofesi demikian. Budi mengatakan, "Dulu mas, tahun 2010 atau 2012, ada tapi enggak banyak." "Tapi bukan di sini, mereka memang suka nongkrong di kafe, di Bandungan sana. Enggak ada yang dilakukan di sini," lanjutnya. Sementara ia juga mengatakan jika sebagian para pemuda telah terlanjur hidup mewah, sehingga ketika dalam kondisi tak punya uang, mereka rela menjual diri untuk mendapatkan uang dengan mudah.source from
"Sementara ini belum ada komunitas gigolo di sini. Mereka kalau masih ada, juga jalan sendiri-sendiri. Tapi kami akan mendatanya lagi," tandasnya
Setiap transaksi tidak mahal bayarnya. Kisaran limapuluh ribu rupiah. Kok murah? Lho, di desa kok. Di desa pelosok, beli nasi gudeg lauk telur cukup duaribu limaratus rupiah masih bisa. Dan limapuluh ribu berapa kali transaksi sehari, kan banyak juga untuk ukuran kehidupan desa. Pekerjaannya juga nikmat untuk gigolonya. Yakin, nikmat. Yang melakoni saja tidak mengeluh, yang membaca tidak perlu heran, hehehe...
Satu kali transaksi diukur dari satu kali ejakulasi. Maaf pakai istilah kedokteran di kanal budaya ini.
Desa Bakulan dan Desa Cabean di lereng gunung Merbabu dan Merapi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah belakangan ini semakin populer di telinga para netizen.
Bagaimana tidak, dua desa tersebut telah mendapat julukan desa gigolo. Julukan tersebut memang bukan tanpa alasan, di sana banyak remaja pria yang usianya di bawah 20 tahun telah menjajakan dirinya sebagai pekerja seks komersial atau gigolo. Namun demikian, warga di kedua desa tersebut ternyata tidak tahu-menahu soal pemberitaan yang beredar.
Salah satu warga Desa Bakulan, Sumardi mengatakan, "Gigolo niku nopo to mas (Gigolo itu apa mas)? Kulo kok mboten nate mireng (saya kok belum pernah dengar)?" Setelah mendapat penjelasan ia kemudian mengatakan, "Wah mboten enten mas, mriki mboten enten pemuda sing nakal kok, (wah tidak ada mas, di sini tidak ada pemuda yang nakal)."
Sementara menurut kepolisian setempat, memang ada beberapa pemuda yang menjadi gigolo, namun hal itu sudah berlalu sejak tahun 2010 atau 2012 lalu. Salah seorang di sana mengatakan, "Memang dulu ada mas, anak-anak muda di sini yang putus sekolah, terus gak mau kerja yang berat. Tiap hari ke kafe di Bandungan, Semarang sana. Dandannya perlente, pulang-pulang bawa uang, pamer. Iki lho golek duit gampang, tinggal neng kafe, dolan karo tante-tante, pulang bawa uang banyak." Pria yang tak disebut namanya ini bahkan juga menyebutkan beberapa nama remaja yang dulunya berprofesi gigolo.
Kendati demikian, sejak tahun 2012 para pemuda sudah mempunyai pekerjaan tetap dan hingga kini tidak ada lagi yang namanya gigolo di dua desa tersebut. "Dulu itu mungkin cari kerjaan susah mas. Sehingga banyak yang aneh-aneh. Tapi sekarang banyak pabrik, banyak proyek di luar, jadi masyarakat sini khususnya pemuda, semua berkarya," tambahnya. Kanit Sabhara Polsek cepogo Boyolali, Aiptu Budi Sri Widodo tak menampik kabar adanya desa gigolo tersebut.
Dia membenarkan, jika dulu ada beberapa pemuda pengangguran di kedua desa yang berprofesi demikian. Budi mengatakan, "Dulu mas, tahun 2010 atau 2012, ada tapi enggak banyak." "Tapi bukan di sini, mereka memang suka nongkrong di kafe, di Bandungan sana. Enggak ada yang dilakukan di sini," lanjutnya. Sementara ia juga mengatakan jika sebagian para pemuda telah terlanjur hidup mewah, sehingga ketika dalam kondisi tak punya uang, mereka rela menjual diri untuk mendapatkan uang dengan mudah.source from
"Sementara ini belum ada komunitas gigolo di sini. Mereka kalau masih ada, juga jalan sendiri-sendiri. Tapi kami akan mendatanya lagi," tandasnya