Ups.! Coca-Cola Dituduh Dukung Raja Diktator di Afrika
Perusahan minuman ringan Coca-Cola dituduh telah mendukung rezim diktator Raja Mswati III dari Swaziland, Afrika. Swaziland Democracy Campaign, organisasi yang berniat menggulingkan monarki absolut terakhir di Afrika itu, telah meminta raksasa minuman ringan multi-miliar dollar asal AS itu untuk segera menarik diri dari negeri tersebut. Coca-Cola memiliki pabrik manufaktur di Swaziland. Pabrik itu disebut sebagai fasilitas terbesar Coca-Cola di Afrika.
Mswati, yang memimpin salah satu negara termiskin di dunia sementara kekayaan pribadinya mencapai 100 juta dollar AS (Rp 911 miliar), bahkan telah mengunjungi kantor pusat Coca-Cola di Atlanta, Georgia.
"Coca-Cola harus tahu bahwa mereka sedang berbisnis dengan orang yang salah," kata jurubicara Swaziland Democracy Campaign, Mary Pais Da Silva, seperti dikutip harian Inggris, Guardian, Senin (2/1/2012). "Pada akhirnya hal itu tidak bermanfaat apa pun bagi perekonomian. Keuntungan mereka tidak membantu warga Swazi, sementara sang raja semakin kaya dari hari ke hari. Mestinya tidak ada orang yang mau melakukan bisnis dengan rezim di Swaziland."
Coca-Cola berkontribusi hingga 40 persen pada produk domestik bruto Swaziland, kata para aktivis. Sementara Coca-Cola mengatakan, Mswati tidak menerima keuntungan dari keberadaan pabrik mereka di negara itu.
Lucky Lukhele, juru bicara Jaringan Solidaritas Swaziland, membandingkan kerja sama dengan rezim Mswati seperti mendukung rezim apartheid di Afrika Selatan. Lukhele mengatakan, "Coca-Cola harus menemukan cara untuk membagi keuntungan kepada rakyat Swaziland. Mereka harus mulai mendukung gerakan pro-demokrasi." Dia membandingkan keharusan moral itu dengan memboikot Afrika Selatan selama tahun-tahun praktek rasial rezim apartheid di Afrika Selatan dulu. "Banyak orang mendukung rakyat Afrika Selatan. Tidak ada posisi netral. Anda mendukung atau menentang. Raja itu menjarah dan menghancurkan perekonomian. Jadi mereka (Coca-Cola) mendukung rakyat atau mereka pergi ke tong sampah sejarah bersama sang raja."
Coca-Cola mendirikan basisnya di Swaziland tahun 1987 setelah meninggalkan rezim apartheid Afrika Selatan. Lukhele menambahkan, "Situasi makin menggila di Swaziland. Rakyat putus asa. Mereka sekarat karena HIV/AIDS dan TB akibat perilaku raja. Ada cukup bukti bagi pengadilan pidana internasional untuk masuk..."
Juru bicara Coca-Cola, Sherree Shereni pada Senin malam mengatakan, perusahaan itu menerapkan 'standar etika tertinggi'. Shereni, sebagaimana dikutip Daily Mail mengatakan, "Raja Mswati III tidak menerima keuntungan atau dividen dari Conco Swaziland, pabrik pembuat konsentrat Coca-Cola. Melalui Yayasan Coca-Cola Afrika, yang didirikan di Swaziland tahun 2001, penduduk Swaziland menerima manfaat dari kontribusi Coca-Cola dalam bentuk kesejahteraan sosial mereka di bidang air, pelayanan pendidikan, kesehatan, dan kewirausahaan."
Gaya hidup mewah Mswati yang punya 13 istri telah menjadi sorotan para aktivis yang menuntut demokrasi di Swaziland dalam beberapa bulan terakhir. Mswati, yang dulu belajar di Sherborne School di Dorset, Inggris, telah berulang kali menolak untuk mempertimbangkan reformasi. Partai-partai politik oposisi dilarang di negara itu dan para aktivis secara rutin ditangkap atau disiksa.
Meski ada kritik terhadap pemerintahannya, Mswati menikmati dukungan dari negara tetangga Afrika Selatan, yang baru-baru menopang perekonomian Swaziland dengan pinjaman senilai 336 juta dollar (Rp 3 trilun).
Swaziland merupakan bekas wilayah protektorat Inggris yang meraih kemerdekaan tahun 1968. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kemiskinan. Penduduk negara itu juga telah didera oleh penyakit AIDS dan merupakan salah satu negara dengan tingkat infeksi HIV/AIDS tertinggi di dunia. Sejumlah studi memperkirakan, hingga 40 persen populasi negara itu menderita penyakit tersebut. sumber: kompas.com
Raja Mswati III dari Swaziland berfoto bersama beberapa dari 13 orang isterinya. |
Mswati, yang memimpin salah satu negara termiskin di dunia sementara kekayaan pribadinya mencapai 100 juta dollar AS (Rp 911 miliar), bahkan telah mengunjungi kantor pusat Coca-Cola di Atlanta, Georgia.
"Coca-Cola harus tahu bahwa mereka sedang berbisnis dengan orang yang salah," kata jurubicara Swaziland Democracy Campaign, Mary Pais Da Silva, seperti dikutip harian Inggris, Guardian, Senin (2/1/2012). "Pada akhirnya hal itu tidak bermanfaat apa pun bagi perekonomian. Keuntungan mereka tidak membantu warga Swazi, sementara sang raja semakin kaya dari hari ke hari. Mestinya tidak ada orang yang mau melakukan bisnis dengan rezim di Swaziland."
Coca-Cola berkontribusi hingga 40 persen pada produk domestik bruto Swaziland, kata para aktivis. Sementara Coca-Cola mengatakan, Mswati tidak menerima keuntungan dari keberadaan pabrik mereka di negara itu.
Lucky Lukhele, juru bicara Jaringan Solidaritas Swaziland, membandingkan kerja sama dengan rezim Mswati seperti mendukung rezim apartheid di Afrika Selatan. Lukhele mengatakan, "Coca-Cola harus menemukan cara untuk membagi keuntungan kepada rakyat Swaziland. Mereka harus mulai mendukung gerakan pro-demokrasi." Dia membandingkan keharusan moral itu dengan memboikot Afrika Selatan selama tahun-tahun praktek rasial rezim apartheid di Afrika Selatan dulu. "Banyak orang mendukung rakyat Afrika Selatan. Tidak ada posisi netral. Anda mendukung atau menentang. Raja itu menjarah dan menghancurkan perekonomian. Jadi mereka (Coca-Cola) mendukung rakyat atau mereka pergi ke tong sampah sejarah bersama sang raja."
Coca-Cola mendirikan basisnya di Swaziland tahun 1987 setelah meninggalkan rezim apartheid Afrika Selatan. Lukhele menambahkan, "Situasi makin menggila di Swaziland. Rakyat putus asa. Mereka sekarat karena HIV/AIDS dan TB akibat perilaku raja. Ada cukup bukti bagi pengadilan pidana internasional untuk masuk..."
Juru bicara Coca-Cola, Sherree Shereni pada Senin malam mengatakan, perusahaan itu menerapkan 'standar etika tertinggi'. Shereni, sebagaimana dikutip Daily Mail mengatakan, "Raja Mswati III tidak menerima keuntungan atau dividen dari Conco Swaziland, pabrik pembuat konsentrat Coca-Cola. Melalui Yayasan Coca-Cola Afrika, yang didirikan di Swaziland tahun 2001, penduduk Swaziland menerima manfaat dari kontribusi Coca-Cola dalam bentuk kesejahteraan sosial mereka di bidang air, pelayanan pendidikan, kesehatan, dan kewirausahaan."
Gaya hidup mewah Mswati yang punya 13 istri telah menjadi sorotan para aktivis yang menuntut demokrasi di Swaziland dalam beberapa bulan terakhir. Mswati, yang dulu belajar di Sherborne School di Dorset, Inggris, telah berulang kali menolak untuk mempertimbangkan reformasi. Partai-partai politik oposisi dilarang di negara itu dan para aktivis secara rutin ditangkap atau disiksa.
Meski ada kritik terhadap pemerintahannya, Mswati menikmati dukungan dari negara tetangga Afrika Selatan, yang baru-baru menopang perekonomian Swaziland dengan pinjaman senilai 336 juta dollar (Rp 3 trilun).
Swaziland merupakan bekas wilayah protektorat Inggris yang meraih kemerdekaan tahun 1968. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kemiskinan. Penduduk negara itu juga telah didera oleh penyakit AIDS dan merupakan salah satu negara dengan tingkat infeksi HIV/AIDS tertinggi di dunia. Sejumlah studi memperkirakan, hingga 40 persen populasi negara itu menderita penyakit tersebut. sumber: kompas.com
0 Leave Your Comment :
Post a Comment
Thanks you for your visit please leave your Comment