Strategi-strategi Investasi di Pasar Modal 2012
PT Bahana TCW Investment Management menilai bahwa racikan strategi investasi 2012 sebaiknya mempertimbangkan dua hal. Pertama, dapat mengantisipasi kondisi pasar modal yang gejolaknya cenderung permanen. Kedua, mempertimbangkan sektor pendorong bursa.
"Atau sektor mana yang memberi acuan," kata Chief Economist and Director for Investor Relation Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, dalam Bahana Media Forum, di Graha Niaga, Jakarta, Kamis 19 Januari 2012.
Budi menuturkan, strategi alokasi antaraset yang lebih lincah diperlukan untuk mengantisipasi pasar yang cenderung bergejolak. "Inilah yang melandasi solusi investasi kami melalui Bahana Quant Strategy," ungkapnya.
Sedangkan untuk sektor pendorong bursa, Budi menyarankan agar investor membatasi harapan atas potensi keuntungan berinvestasi. Menurunya, ini terjadi karena pasar saham Indonesia secara umum digerakkan oleh dua mesin utama yaitu sektor energi dan komoditas yang lebih dipengaruhi faktor eksternal dan sektor berorientasi domestik.
"Seperti otomotif, properti, dan konsumsi yang lebih dipacu oleh penurunan suku bunga," kata dia.
Selama periode 2003 dan 2007, lanjut Budi, sejalan dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi global, keuntungan indeks harga saham gabungan (IHSG) melesat rata-rata 50 persen per tahun yang dipacu oleh sektor pertambangan 112 persen dan perkebunan 87 persen.
Namun, keadaan berbalik setelah krisis keuangan 2008. Kelebihan likuiditas akibat berbagai stimulus The Fed meredam risiko resesi di Amerika Serikat menyebabkan penurunan suku bunga global, termasuk Indonesia.
Selama periode Januari 2008 hingga Oktober 2011, rata-rata keuntungan IHSG hanya 11 persen per tahun yang lebih ditopang oleh sektor konsumsi 34 persen dan keuangan 22 persen. "Sedangkan indeks saham sektor pertambangan dan perkebunan penurunannya masing-masing 2,3 persen dan 3,6 persen," ujarnya.
Mengingat beragam indikator masih menunjukkan resesi global, kata Budi, maka sangat bisa jadi sektor pertambangan dan perkebunan tetap tidak memberikan keuntungan seperti periode 2003-2007. Meski demikian, terbuka peluang keuntungan kedua sektor itu lebih baik ketimbang 2008-2011.
Demikian juga, dengan kecenderungan peningkatan suku bunga sejak Juli 2011 yang terkait permintaan dana untuk refinancing utang banyak negara yang jatuh tempo sangat bisa jadi akan membatasi penurunan bunga. "Proyeksi ini berisiko membatasi keuntungan saham sektor keuangan dan konsumsi tidak seperti 2008-2011," kata dia.
Meski demikian, menurut Budi, kedua sektor itu tetap menawarkan peluang keuntungan, terkait dengan potensi demografi Indonesia yang didominasi oleh penduduk berusia muda. "Rata-rata populasi Indonesia saat ini berusia 28 tahun," ujarnya.
Berharap Untung
Sementara itu, Bahana memiliki temuan empiris yang menyimpulkan bahwa meski dalam jangka pendek pergerakan IHSG dan sektor riil kurang selaras, namun dalam jangka pendek keduanya sepadan.
"Mesin pendorong IHSG akan lebih berimbang antara eksternal dan internal, sehingga kami menduga akan terjadi proses normalisasi return. Karenanya, kami menetapkan 16,8 persen sebagai harapan keuntungan saham di 2012," kata dia.
Budi mengungkapkan, berdasarkan data Bloomberg, rata-rata keuntungan per tahun IHSG selama periode Desember 1996 hingga November 2011 mencapai 17,2 persen dan 16,8 persennya merupakan capital gain.
"Angka itu jelas lebih tinggi dari inflasi 11,3 persen. Namun, tidak terlalu jauh dibanding 18,4 persen kinerja sektor riil yang diestimasi berdasarkan GDP (Produk Domestik Bruto) nominal," ungkapnya.
Menurutnya, GDP nominal itu seperti estimasi total berbagai barang dan jasa yang dihasilkan melalui berbagai sektor riil setiap tahun. "Data empiris itu menegaskan kinerja saham pada akhirnya sangat tergantung kepada faktor fundamental," kata dia.
Anjuran tone down expectation ini, lanjut Budi, juga terkait dengan kemungkinan risiko regional rotation, mengingat valuasi IHSG yang relatif lebih tinggi ketimbang bursa regional.
Budi menuturkan, pihaknya mencermati adanya pola bahwa bursa China (SHCOMP) cenderung meningkat ketika memasuki pelonggaran likuiditas. "Valuasi SHCOMP berdasarkan estimasi rasio price to earning 2012 lebih murah 9,35 kali dibanding IHSG 12,66 kali," ujarnya.
Perbedaan valuasi itu, lanjutnya, terkait dengan kinerja IHSG yang terbilang paling tinggi dengan total return selama tiga tahun terakhir sebesar 50 persen. Rotasi juga bisa terjadi di negara berkembang ke negara maju seperti AS.
"Terlihat Dow Jones (INDU) bisa lebih menarik, selain valuasi lebih murah juga return of equity lebih besar ketimbang IHSG," katanya. (eh) sumber • VIVAnews
Bursa Efek |
Budi menuturkan, strategi alokasi antaraset yang lebih lincah diperlukan untuk mengantisipasi pasar yang cenderung bergejolak. "Inilah yang melandasi solusi investasi kami melalui Bahana Quant Strategy," ungkapnya.
Sedangkan untuk sektor pendorong bursa, Budi menyarankan agar investor membatasi harapan atas potensi keuntungan berinvestasi. Menurunya, ini terjadi karena pasar saham Indonesia secara umum digerakkan oleh dua mesin utama yaitu sektor energi dan komoditas yang lebih dipengaruhi faktor eksternal dan sektor berorientasi domestik.
"Seperti otomotif, properti, dan konsumsi yang lebih dipacu oleh penurunan suku bunga," kata dia.
Selama periode 2003 dan 2007, lanjut Budi, sejalan dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi global, keuntungan indeks harga saham gabungan (IHSG) melesat rata-rata 50 persen per tahun yang dipacu oleh sektor pertambangan 112 persen dan perkebunan 87 persen.
Namun, keadaan berbalik setelah krisis keuangan 2008. Kelebihan likuiditas akibat berbagai stimulus The Fed meredam risiko resesi di Amerika Serikat menyebabkan penurunan suku bunga global, termasuk Indonesia.
Selama periode Januari 2008 hingga Oktober 2011, rata-rata keuntungan IHSG hanya 11 persen per tahun yang lebih ditopang oleh sektor konsumsi 34 persen dan keuangan 22 persen. "Sedangkan indeks saham sektor pertambangan dan perkebunan penurunannya masing-masing 2,3 persen dan 3,6 persen," ujarnya.
Mengingat beragam indikator masih menunjukkan resesi global, kata Budi, maka sangat bisa jadi sektor pertambangan dan perkebunan tetap tidak memberikan keuntungan seperti periode 2003-2007. Meski demikian, terbuka peluang keuntungan kedua sektor itu lebih baik ketimbang 2008-2011.
Demikian juga, dengan kecenderungan peningkatan suku bunga sejak Juli 2011 yang terkait permintaan dana untuk refinancing utang banyak negara yang jatuh tempo sangat bisa jadi akan membatasi penurunan bunga. "Proyeksi ini berisiko membatasi keuntungan saham sektor keuangan dan konsumsi tidak seperti 2008-2011," kata dia.
Meski demikian, menurut Budi, kedua sektor itu tetap menawarkan peluang keuntungan, terkait dengan potensi demografi Indonesia yang didominasi oleh penduduk berusia muda. "Rata-rata populasi Indonesia saat ini berusia 28 tahun," ujarnya.
Berharap Untung
Sementara itu, Bahana memiliki temuan empiris yang menyimpulkan bahwa meski dalam jangka pendek pergerakan IHSG dan sektor riil kurang selaras, namun dalam jangka pendek keduanya sepadan.
"Mesin pendorong IHSG akan lebih berimbang antara eksternal dan internal, sehingga kami menduga akan terjadi proses normalisasi return. Karenanya, kami menetapkan 16,8 persen sebagai harapan keuntungan saham di 2012," kata dia.
Budi mengungkapkan, berdasarkan data Bloomberg, rata-rata keuntungan per tahun IHSG selama periode Desember 1996 hingga November 2011 mencapai 17,2 persen dan 16,8 persennya merupakan capital gain.
"Angka itu jelas lebih tinggi dari inflasi 11,3 persen. Namun, tidak terlalu jauh dibanding 18,4 persen kinerja sektor riil yang diestimasi berdasarkan GDP (Produk Domestik Bruto) nominal," ungkapnya.
Menurutnya, GDP nominal itu seperti estimasi total berbagai barang dan jasa yang dihasilkan melalui berbagai sektor riil setiap tahun. "Data empiris itu menegaskan kinerja saham pada akhirnya sangat tergantung kepada faktor fundamental," kata dia.
Anjuran tone down expectation ini, lanjut Budi, juga terkait dengan kemungkinan risiko regional rotation, mengingat valuasi IHSG yang relatif lebih tinggi ketimbang bursa regional.
Budi menuturkan, pihaknya mencermati adanya pola bahwa bursa China (SHCOMP) cenderung meningkat ketika memasuki pelonggaran likuiditas. "Valuasi SHCOMP berdasarkan estimasi rasio price to earning 2012 lebih murah 9,35 kali dibanding IHSG 12,66 kali," ujarnya.
Perbedaan valuasi itu, lanjutnya, terkait dengan kinerja IHSG yang terbilang paling tinggi dengan total return selama tiga tahun terakhir sebesar 50 persen. Rotasi juga bisa terjadi di negara berkembang ke negara maju seperti AS.
"Terlihat Dow Jones (INDU) bisa lebih menarik, selain valuasi lebih murah juga return of equity lebih besar ketimbang IHSG," katanya. (eh) sumber • VIVAnews
0 Leave Your Comment :
Post a Comment
Thanks you for your visit please leave your Comment