Sebuah kisah Penjara yang Merenggut Ajal
Masih dalam rangka menjelang tiga abad gedung bekas Balai Kota Batavia yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta (MSJ), kondisi penjara sipil di balai kota masih menyisakan kisah menarik. Setelah VOC dibubarkan pada sekitar akhir abad 16, fungsi balai kota mulai banyak berubah. Perubahan itu terjadi saat Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di awal abad 17 (1808-1811), khususnya pemisahan antara dewan pengadilan dan dewan pemerintahan kota.Sebelum Daendels memerintah, tepatnya sejak VOC dibubarkan, penjara kompeni dan penjara sipil di balai kota dijadikan satu menjadi penjara kota. Di penjara inilah pada 1830 Pangeran Diponegoro sempat menginap sebelum diasingkan ke Manado. Demikian ditulis dalam “Dari Stadhuis Sampai Museum”. Daendels tak hanya membuat pemisahan, tapi juga memindahkan pemerintahan kota ke Weltevreden karena Batavia semakin tak sehat.
Sementara itu Adolf Heuken dalam “Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta” menyebutkan, gedung tersebut digunakan sebagai Dewan Kotapraja dan Dewan Pengadilan. Warga pergi ke gedung itu untuk mengurus berbagai hal seperti mendaftarkan pernikahan, mempertahankan hak mereka dalam ruang pengadilan, perlindungan bagi yatim piatu, dan dijebloskan dalam penjara. Karena pembicaraan penting banyak terjadi di gedung tersebut, maka gedung itu disebut Gedung Bicara.
Sidang-sidang digelar di lantai dua di dalam sebuah ruangan, demikian juga ruang penyiksaan yang diduga di dekat situ. Penjara ada di tingkat bawah. Heuken mencatat, di belakang gedung utama pernah ada bangunan tingkat satu yang merupakan penjara bagi mereka yang mampu membiayai kamar tahanan sendiri.
Raad van Justitie atau Dewan Pengadilan yang ada di balai kota pernah dipindahkan ke Waterlooplein (Lapangan Banteng) pada 1829, pada 1848 pindah ke gedung yang kini bekas gedung Mahkamah Agung, dan pada 1870 pindah ke gedung Paleis van Justitie yang kini menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik.
Kondisi penjara yang disebut-sebut rapih dan teratur ternyata omong kosong belaka. Penjara yang hanya cukup untuk 100 orang dijejali hingga lebih dari 300 tahanan. Tiga hari setelah masuk penjara, biasanya tahanan langsung sakit. Penyakit malaria, kolera, disentri mudah menyerang di dalam tahanan yang jorok. Dan setelah empat bulan, sekitar 85 persen tahanan yang tak kuat akan menemui ajal, bahkan sebelum sempat diadili.
Hans Bonke dan Anne Handojo menuliskan, Gubernur Jenderal Rochussen yang berkuasa pada 1845-1851 sempat mengunjungi penjara tersebut. Ia memerintahkan bangunan penjara baru yang lebih memadai. Maka pada 1847 pembangunan penjara baru dimulai, lokasinya di sekitaran Hayam Wuruk, Glodok tepatnya. Setahun kemudian, setelah penjara baru jadi, penjara di balai kota ditutup. Rumah tahanan di halaman belakang balai kota tak hanya ditutup tapi juga dibongkar.
Sementara itu urusan perlindungan yatim piatu juga tidak lagi menjadi urusan pemerintahan kota tapi kuasa yustisi. Tahun 1852 kantor instansi yatim piatu pindah dari balai kota ke rumah Berendregt di Molenvliet (Hayam Wuruk dan Gajah Mada).
Balai Kota Batavia juga menjadi lokasi di mana Sir John Fendall mengembalikan Hindia Belanda dari Inggris ke Belanda, setelah Thomas Stamford Raffles memerintah sejak 1811-1816. Sebuah intermezzo sekitar lima tahun dari Belanda ke Inggris. Dewan Kehakiman yang pernah dibentuk Raffles berubah menjadi residen. Balai kota kemudian, setelah Inggris menyerahkan kekuasaan ke Belanda, menjadi residentiekantoor. Residen ini bertugas mengurus dan menyelesaikan berbagai masalah, ia dibantu beberapa instansi yang mengatur berbagai bidang.
WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto
KOMPAS.com --
Salam Sonia
0 Leave Your Comment :
Post a Comment
Thanks you for your visit please leave your Comment